Sabtu, 28 Desember 2013

Saat Terakhir.


Pelukanmu, mendekapku dengan tulus. Melingkarkan lengan kuatmu pada tubuh kecil ini, sampai tak ada lagi gelisah yang mampu aku ungkapkan, semuanya terasa lebur. Pelukanmu sungguh hangat, menutupi dinginnya hujan dikala itu. Kau berikan kecupan di ujung kepalaku, menyentuhkan tanganmu pada rambut ikalku, mengusap-ngusapnya –nyaman.

Tak peduli resah yang sedari tadi berlari-larian mengejar kita, keresahan akan perpisahan. Tak bisa lagi menjelaskan satu-persatu kesedihan, bagiku pelukmulah sebuah jawaban. Aku tau dekapan ini hanya sesaat, tak akan bisa dipertahankan. Tapi setidaknya saat-saat itulah bahagiaku sudah cukup terbayarkan sebelum kepergianmu dan membiarkan jarak menertawakan kita –lagi.

Aku mendapati tanganku basah oleh air mata, tapi aku sedang tak menangis, aku sedang merasakan kenyamanan, tak perlu aku tangisi pikirku. Oh itu bukan air mataku, air mata itu keluar dari sudut matamu yang kosong. Aku menatapmu, sesosok pria yang aku sadari telah merebut hatiku, menangis karenaku? Aku sudah lama mengenalmu, tapi aku tak mengenalmu saat ada kesedihan dalam pikiranmu. Bukankah selama ini kamu yang mengajarkanku ketegaran?

“Aku sayang kamu, aku enggak mau ninggalin kamu. Alasan apa yang membuat orangtuamu melarang hubungan kita? Umur kita kah atau aku yang belum bisa menyelesaikan kuliahku? Kalau memang karena itu, aku janji sama kamu, suatu saat nanti pastikan akulah yang akan memintamu –dengan siap”. Terlontar kalimat itu dari mulutmu, sambil mengisak tangismu. Tenang saja, aku tak memandangmu sebagai laki-laki cengeng. Aku tau itu adalah perasaan tulusmu.

Tak banyak ucapku, seharusnya akulah yang menegarkanmu saat kamu lemah. Tapi apalah aku? Seperti yang kau tau, aku ada dibelakangmu, bahagia saat kau bahagia dan justru jauh lebih sedih ketika kau bersedih.

Kuberanikan menyeka aliran air di pipimu, ku kembangkan senyum terbaikku dan memberimu kepastian “Aku menunggumu”.

Pelukan itu kembali merekat, jauh lebih kuat, seperti tak ingin dilepaskan. Tangis malah pecah, membanjiri paras kita masing-masing. Mengikat harapan dan melepaskan keraguan.

Aku mengulang menatap matamu, tawa manismu merekah di bibir tipismu, menandakan penguatan. Saat itu aku berharap aku tak akan mendapatimu pergi -mungkin.

Hari itu, bagiku, tak akan ada lagi hari bahagia yang lainnya, sampai “suatu saat nanti” yang kau janjikan itu. Kini aku memilih sendiri menjalani hidupku, tanpa pria lain yang menawarkan sandaran bahunya padaku. Dan sekeras apapun orangtuaku, mungkin ini hanya masalah waktu. Tugasku dan tugasmu hanyalah: berbuat sebaik mungkin.

Aku tetap menunggumu, inilah pejuangan dan aku percaya Tuhan sedang melihat.

saat terakhir kita sebelum bertemu kembali
-AZ-

Minggu, 22 Desember 2013

Bidadari Surga: Ibu :")

Seharusnya aku memahami, Ibu bukanlah seperti dulu, bukan lagi wanita yang kuat untuk menggendongku sendirian, bukan lagi wanita yang mengantarkanku ke sekolah dengan harapan. Selayaknya orang tau, Ibu sudah terlihat renta untuk melakukan hal-hal itu. Saat itulah waktunya aku yang bersabar, menggendongnya saat sakit dan mengantarkannya ke dokter dengan harapan kesembuhannya.

Seharusnya aku memahami, saat Ibu tak lagi bisa mengambil sarapannya sendiri, tak lagi bisa berdiri tanpa bantuan, tak lagi bisa mengingat bagaimana cara menghidupkan televisi. Saat itulah aku mengingat, bagaimana ibu menyuapiku. Memberi sorakan gembira saat aku pertama kali bisa melangkahkan kakiku tanpa ibu memegang kedua tanganku. Dan menuliskan cara-cara menghidupkan televisi sendiri, agar aku bisa menonton televisi kapanpun.

Seharusnya aku memahami, saat Ibu sudah tak mengingat lagi dimana letak kacamatanya yang baru saja Ibu pakai dan Ibu mulai mengulang-ngulang kata yang sama yang menurutku membosankan. Saat itulah harusnya aku bersabar mengingatkannya dan mendengarkan kata-katanya tanpa membentaknya. Seperti di masa kecilku, Ibu selalu mematikan lampu kamarku saat aku lupa mematikannya sendiri, tak pernah lelah mengulang-ngulang cerita dongeng yang sama yang mungkin membosankan dan menungguku sampai aku terbuai dalam mimpi.

Seharusnya aku memahami, saat ibu tak mengenal teknologi, tak tau bagaimana caranya menggunakan internet dan tak tau bagaimana menggunakan handphone yang terlalu banyak media sosial. Seharusnya aku tak menertawakannya. Dulu, ketika aku tak tau apa-apa, Ibu selalu menjawab setiap pertanyaan tak pentingku, dengan sabar menjelaskan satu persatu apapun yang aku tanyakan. Meskipun itu hanya pertanyaan konyol “Ibu, kenapa ikan minum air terus, apa ikan itu tidak merasa kenyang?”.

Seharusnya aku memahami, Ibu tak lagi bisa berlari dengan kencang saat aku berteriak kesakitan, tak lagi bisa menjemputku saat hujan ketika aku lupa membawa payung, kedua kakinya terlalu lemah untuk melakukan hal itu sekarang. Saat itulah seharusnya aku mengulurkan tanganku yang masih muda dan kuat untuk memapahnya berjalan. Sama seperti dulu, saat aku masih bayi mungil yang duduk sendiri saja tak bisa, lalu aku ditolongnya, Ibu.

Seharusnya aku memahami, Ibu tak lagi bisa mengingat setiap pembicaraan kita beberapa hari yang lalu, melupakannya begitu saja. Itu terasa menjengkelkan bagiku, harus berbicara berkali-kali dengan topik yang sama. Tapi saat itu seharusnya aku mengerti, seharusnya aku memberikan sedikit waktu untuk ibu mengingatnya. Mungkin saat itu topik pembicaraanku bukanlah yang terpenting baginya, mungkin ibu hanya ingin berada di sampingku dan menjadi pendengar yang baik. Memelukku saat terlihat air mata jatuh dari sudut mataku. Mungkin menurutnya, pelukan adalah jawaban terbaik untuk setiap pembicaraanku.

Seharusnya aku memahami, ada banyak keriput di wajah cantiknya sekarang, seperti menggambarkan betapa banyak masalah yang dihadapinya, mengukirnya satu-persatu dan menunjukkannya padaku bahwa dengan ukiran masalah itu, dia masih bisa tersenyum.

Seharusnya aku memahami, seharusnya aku memaklumi, seharusnya aku mendukungnya. Seperti yang ibu lakukan kepadaku, saat aku belajar mengenal kehidupan. Ibu menuntunku menjalani kehidupan agar aku tak kesepian dan kebingungan.

Terimakasih ibu, meskipun terlalu banyak dusta dan dosa dalam diriku, senyummu tetap menandakan rasa syukurmu memilikiku. Aku tau, di dalam senyummu, tertanam kasih sayang yang tak terhingga padaku. Banyak tersimpan harapan, agar aku menjadi manusia yang baik, sepertimu, yang bisa dituliskan dalam hati orang lain.

Sekarang aku percaya, ada bidadari surga yang Tuhan perlihatkan padaku sebelum matiku.

teruntuk mama
selamat hari ibu :)

Rabu, 18 Desember 2013

Laki-Laki Pemilih

Aku terus memandangi laki-laki yang tak pernah kutemui sebelumnya itu, tak ingin melepas pandangan kemana dia pergi. Laki-laki tampan dan menawarkan pesonanya kepada setiap perempuan. Tubuhnya yang tinggi membuatku semakin tertarik, Aan namanya. Sepertinya laki-laki ini telah berhasil membuatku memiliki perhatian yang lebih padanya. Bukan hanya aku, ternyata banyak perempuan yang berfikiran yang sama denganku waktu kami baru memulai Kuliah Kerja Nyata atau sering kami sebut KKN. Ini memang kegiatan yang menarik bagi kami, teman-teman yang biasanya hanya bertemu di kampus, akan melewati satu bulan penuh di rumah yang sama. Keluarga baru dan kisah cinta yang baru tentunya.

“Hai, sendirian?” suara laki-laki itu sempat mengagetkanku saat aku mendapat giliran piket mencuci piring hari itu. Aku tak sempat menjawabnya, dia mendekatiku dan berdiri tepat di depanku, meraih salah satu piring kotor yang belum sempat aku bersihkan.

“Aku bantu ya?” Ucapnya. Bagaimana aku harus menjawab tidak kalau keadaannya seperti ini. Heranku, kenapa dia memilih untuk membantuku di dapur daripada menonton tivi atau sekedar bercanda dengan 18 anak KKN lainnya.

Tak banyak ucapku saat beberapa lama kami berdua mencoba menyelesaikan pekerjaan kami. Rasanya tak ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini pikirku, nanti saja, toh mungkin tak akan ada kesempatan seperti ini lagi, masih banyak teman-teman perempuanku yang juga ingin berkesempatan bersamanya. Memandang lebih lama laki-laki yang telah merebut perhatianku ini.

Kenapa aku harus serumah dengan laki-laki sepertinya? Itu semakin membuatku tak bisa lepas untuk terus melihatnya, memperhatikan tingkah lakunya bahkan seperti apa kebiasaannya pun aku memperhatikan, tanpa aku pedulikan teman-teman yang lain di rumah itu. Dan itu sudah berlangsung hampir 2 minggu, dengan pandangan yang sama dan dengan perasaan yang sama pula, bahkan lebih.

Aku terperanjat dari tidurku, sudah larut malam sepertinya. Aku melihat teman-teman perempuanku sudah tertidur pulas, lampu ruang utama sepertinya sudah mati, sepi. Tak tau dengan mereka para lelaki, apa yang mereka lakukan malam-malam begini di luar rumah, kami para gadis tak pernah memperhatikan. Tapi ada alasan lain kenapa aku terbangun, aku merasakan getar telfon genggamku, lama sekali bergetarnya. Tak ingin mengangkatnya, tapi kalau tidak, sepertinya akan semakin mengganggu teman yang lainnya, secara kami tidur seperti ikan pindang dan asal cukup dalam satu ruangan berukuran 3x4 meter.

Apakah aku bermimpi? Atau ini hanya halusinasi di malam hari? Aku berusaha membuka mataku, melihat jam dinding di kamar itu, memang sudah lewat tengah malam ternyata. Aku mendapati layar telfon genggamku dengan nama “Aan” sedang mencoba menghubungiku. Ada apa? Aku merasa tak pernah ada urusan dengannya. Setauku tadi siang kami hanya bertukar nomor telfon, itupun memang dilakukan oleh semua teman-teman KKN, agar kalau ada informasi bisa segera dihubungi. Kalau memang ada informasi penting, kenapa harus aku saja yang dihubunginya? Tengah malam pula?

“Kenapa tak cepat diangkat?” Tanya laki-laki diujung telfon itu.
“Ada apa, ada yang penting?” jawabku dengan gagap, sembari menyadarkan diri dari tidurku.
“Tidak, aku hanya ingin menelfonmu”. Suara tegas dan dewasa itu tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Aku kira kamu sudah tidur, apa sebaiknya enggak besok saja bicara denganku? Toh kita tiap hari kan ketemu?” mungkin itu jawaban tak menyenangkan baginya, tapi ini juga tak menyenangkan bagiku. Kalaupun harus mengakhiri telfon itu, aku masih ingin mendengar suaranya, sebenarnya.

“Maaf mengganggumu malam-malam, aku hanya berkesempatan telfon kamu malam hari, aku tak bisa berbicara padamu disaat ada yang lain.”
“Ingin membicarakan apa kamu denganku?” tanyaku penasaran. Mataku benar-benar sudah tak bisa tidur lagi sepertinya.
“Aku rasa kita bukan anak kecil lagi, boleh aku mengatakan sesuatu? Aku menyukaimu, bagaimana denganmu?”.

Aku bukan dalam mimpi, ini kenyataan, laki-laki itu berkata tentang perasaannya padaku. Masih melekat pertanyaannya, susah untuk mencernanya, seperti tiba-tiba saja ada petir yang akan menyambarku, menghindar tak bisa, menerimanya malah akan membuatku sakit. Pikiranku kembali seperti anak SMP yang baru berkenalan dengan lawan jenisku saja, kikuk.

“Apa maksudmu?” jawabku.
“Kurang jelas, aku tak perlu menanyakan untu kedua kalinya kan?”.

Tersentak perasaanku, sulit untuk mengungkapkan. Aku hanya perempuan berparas biasa saja, dibandingkan dengan teman KKN yang lain, mungkin aku tak akan ada di deretan paling cantik. Sedangkan dia ada di paling atas deretan tertampan.

“Aku tidak menyukaimu”, jawabku dengan keraguan. Itu jawaban bodoh yang pernah aku katakan. Tapi aku sadar diri, tak mungkin dia memiliki rasa padaku, mungkin dia salah nomor saat mencoba menelfon, mungkin yang dia maksud adalah perempuan lain di kelompok KKN itu.

“Baiklah, aku tau kamu bohong. Aku sudah lama memperhatikan gerak-gerikmu. Aku tau kemana arah pandanganmu. Kamu sedang jatuh cinta kan? Aku tak akan memaksamu untuk mengatakan perasaanmu padaku, aku tau ini tak bisa disebut gentle, aku hanya menelfonmu. Akan aku katakan langsung nanti kalau waktunya tepat. Untuk sekarang, memang aku tak bisa. Aku tau teman-temanmu juga menaruh hati padaku, aku tak mau mereka sakit hati dan mulai membencimu”, terangnya memberi penjelasan.

Telfon darinya ditutup, tak ada lagi bergeming suaranya di telingaku. Pertanyaannya masih jelas aku ingat. Seharusnya aku menjawabnya dengan jujur, kenapa aku berbohong pada perasaanku? Bodoh sekali. Tapi bagaimana dengan teman-temanku yang lainnya? Egoiskah aku nantinya?

Mungkin ini bukan masalah egois atau tidak, karena perasaanku tak bisa aku kendalikan sebelumnya, sama seperti mereka. Tapi setidaknya, sebagai seorang perempuan, aku pasti akan merasakan rasanya patah hati jika orang yang aku suka malah justru memilih temanku sendiri. Padahal, kita sama-sama memberi perhatian yang sama, dengan porsi yang sama pula.

Aku ingat kata sahabatku di rumah, “Cinta itu enggak pernah bohong. Kalau bohong, itu namanya cuma sekedar berusaha cinta”. Tapi sejujurnya aku tak pernah ingin bohong, mulutku yang berbohong, bukan hatiku.

Mulai malam itu dan keesokan harinya, kami hanya bisa berhubungan lewat pesan, aku menanggapinya. Aku tertawa kecil sendiri, aku melihat tingkah lakunya lebih sering dari biasanya dan aku kadang sedikit menggodanya. Tak banyak yang bisa aku lakukan, yah itu sekali lagi karena aku menjaga perasaan teman-temanku. Aku hanya tak ingin terlihat lebih dispesialkan oleh Aan.

Sehari dua hari mungkin aku bisa terlihat normal, tapi untuk beberapa hari, terlihat konyol mungkin dengan keadaan yang tak nyaman. Aku mengetahui ada laki-laki yang aku idamkan memiliki rasa padaku, tapi aku berusaha menutupinya, seolah tak pernah kenal. Hati ini telah saling bertemu, akankah hanya diabaikan?

Aku dalam kebodohan setiap harinya. Melamunkan hal yang seharusnya menjadi keputusanku sendiri. Aku berfikir aku harus bisa menjawabnya, karena aku adalah pemeran utamanya, aku yang membuat drama ini pula. Hampir satu bulan akan selesai masa KKN ini, tak ada tanda-tanda Aan akan menanyakan rasaku secara langsung. Padahal aku telah siap menjawabnya, aku siap dengan segala resikonya. Mungkin karena sekali lagi terkendala teman-teman. Ah, sampai kapan aku akan menyalahkan keadaan?

Perasaan ini semakin tidak karuan saja, semakin ramai saja pikiranku. Kenapa dia tak pernah berusaha untuk berbicara padaku langsung? Atau aku yang terlalu banyak berharap? Seharusnya aku tau, ini hanya harapan palsu mungkin. Seharusnya aku sadar, ini mungkin hanya perasaan sesaat. Seharusnya aku tak memikirkannya terlalu dalam. Seharusnya aku tak usah terlalu berbahagia. Jelas-jelas belum ada kenyataan. Menangispun, menangis untuk apa.

Dan tiga hari sebelum selesainya KKN, malam itu, Aan mengirimiku pesan untuk menemuinya setelah kegiatan selesai. Kali ini aku tanpa ragu, aku menjemput keputusannya. Aku sudah tak penasaran lagi dengan apa yang akan dia katakan.

“Bagaimana? Apa perlu aku ulang pertanyaanku? Aku menunggu jawabanmu saja. Yang jelas aku menyukaimu, itu saja penjelasanku.” Suaranya yang tegas mulai mengusik pendengaranku.
“Iya, aku juga menyukaimu, maaf kalau sebelumnya aku berbohong, itu karena…” pernyataanku terpotong, sontak dia yang meneruskan.
“Tak perlu dijelaskan, aku tau, karena teman-teman kita kan? Terima kasih atas jawabanmu, aku sangat menghargainya, aku senang kamu memiliki perasaan yang sama. Bisakah kamu menjadi kekasihku?” Seraya meraih tanganku, dan menggenggam erat.

Taukah kalian tentang sebuah perayaan? Seperti itulah perasaanku sekarang. Atau mungkin lebih, tak bisa terbayangkan. Tanganku dingin, aku takut dia tau kalau aku gugup, aku tak bisa mengendalikan kegembiraanku. Aku mencoba melepaskan genggamannya, tapi dia justru mempereratnya sepertinya. Kalian pasti tau jawabanku.

Aku mengangguk, menandakan aku menyetujui pertanyaannya. Senyum merekah diantara kita berdua. “Lalu?” tanyaku.
“Kita jalani saja dulu, yak penting kita punya komitmen dulu. Masalah teman-teman perlahan saja, mereka pasti mengerti. Cinta itu datang tiba-tiba, tanpa ada rencana sebelumnya.”
“Apa alasanmu memilihku, bukankah mereka lebih baik?” tanyaku menegaskan.
“Kamu kira aku melihat mereka dari parasnya? Aku melihat hatimu, aku melihat imanmu, aku melihat ada yang berbeda darimu dan aku melihat kamu adalah cerminanku. Jika orang-orang menilaiku baik, lihatlah dirimu, cerminanku bukan?” mata teduhnya melihatku dengan penuh ketulusan.

Tuhan benar-benar telah mengirimkanku laki-laki yang begitu cukup bagiku. Ini hadiah dari Tuhan mungkin. Sampai beberapa bulan kami menjalani bersama-sama, mulai banyak mereka yang tau tentang hubungan kami. Seperti yang kami khawatirkan sebelumnya, banyak gunjingan, banyak dari mereka yang mengecamku. Aku merasa ini hanya ujian, sampai mana aku bisa mengahadapinya, Nyatanya semuanya tak pernah buruk, aku hanya perlu mendengarkan mereka dan membalasnya dengan senyuman, itu sudah cukup memberikan jawaban.

Tak banyak komentar Aan atas seruan mereka pada kita. Dia hanya menjawab “Aku yang memilihnya”.

Satu hal yang aku pahami, ketika kamu telah memilih dan kamu telah berani memberi harapan pada seseorang, pertanggungjawabkanlah dengan memerdekakan harapannya. Karena akan lebih menyakitkan ketika dia yang mengaharapkanmu mulai lelah dan memilih untuk pergi meninggalkanmu.

Mungkin Aan bukan pacar pertamaku, tapi dia cinta pertamaku. Aku mulai menyadari, aku mencintainya bukan karena hanya ketampanannya. Aku mencintainya karena Allah, karena imannya juga, tak pernah aku melihatnya meninggalkan ibadahnya.

Jika laki-laki itu bisa membimbingmu, merubahmu menjadi lebih baik, menerimamu dengan tulus walaupun dia tau kekuranganmu, jaga dia, pertahankan dia, jadikan dia pilihanmu :)

Jumat, 22 November 2013

Ternyata Aku Bisa.

Taukah kau? Bukan tanpa maksut aku menanyakan kabarmu setiap hari, aku hanya ingin menjaga kita agar tak terpisah sekedar menjadi aku dan kamu. Sudah banyak yang aku lalui dalam kesendirian. Cela yang orang berikan padaku, seolah tak lagi aku hiraukan. Memang ini kenyataannya, kita memang sedang tidak di kota yang sama, kita terpisah jarak beratus-ratus kilometer. Tau apa mereka tentang perjuangan? Mereka justru yang tak berani mengambil resiko, bukankah pengecut jika hanya menjalin kasih tapi tanpa pengorbanan?

Kenyataan lebih mengerti keadaan kita sepertinya, dan aku tak diijinkan untuk terus mengandalkan ego, aku dituntut untuk dewasa. Oh, aku ingin berbicara tentang dewasaku. Bisakah aku disebut mandiri ketika aku telah melakukan semuanya sendirian tanpamu? Mengingat dulu kita pernah satu, kamu pernah selalu ada untukku.  Mungkin kamu tak akan percaya, aku bukan anak kecil lagi yang hanya bisa merengek, aku telah sabar menghadapi masalah, seperti yang kamu ajarkan. Waktu dan jarak inilah yang justru membantuku kuat bertahan, tanpa aku tau dan rencanakan sebelumnya.

Ingatkah kamu? Sebelum ada jarak diantara kita, kita pernah bermimpi setinggi-tingginya, kita susun dengan sangat rapi. Merencanakan hal-hal yang akan kita lakukan jika kita sudah disatukan, aku tak pernah sabar untuk meraihnya. Rasanya ingin kembali ke masa itu, masa dimana kita bisa saling bertatap, saling mendekap, saling merindukan dan bertemu, bukan seperti sekarang, hanya bisa saling mendoakan.

Rupanya aku telah berhasil mengatasi jarak ini, aku baik-baik saja walaupun sudah lama kita tidak bertemu. Aku tak mencari sandaran lain ketika aku menangis. Aku tak mencari orang lain yang sanggup menghapus air mataku. Aku tak pedulikan orang lain yang berusaha memberiku perhatian lebih. Aku juga tak menebarkan pesonaku. Aku menjaga hatiku, aku memantaskan diri untukmu. Dan yang terpenting  memang adalah kepercayaan diantara kita masing-masing, dan aku yakin semua akan baik-baik saja.

Tapi apalah aku, aku hanya manusia biasa. Rupanya dalam sabar dan percayaku, aku kadang tak bisa mengendalikan emosi. Kamu sering sekali membuat rinduku lebih dalam dari biasanya bahkan memaksa akalku untuk berfikir hal-hal yang tak mungkin. Apalagi disaat malam tiba, saat aku akan mengakhiri hariku. Dulu selalu kamu yang menjadi penutup hariku, mengantarku pulang ke rumahku. Tapi sekarang aku menutup hariku sendiri, ditemani dengan suaramu pula tapi tanpa ragamu. Ah justru itu ujiannya mungkin, dan percayalah aku tak akan melakukan hal bodoh yang akan membuat hubungan kita dalam ketidak baikan. Kini, aku hanya bisa membiarkanmu menari-nari dalam fikiranku, membiarkanmu menjadi tokoh utama dalam ceritaku.

Sayang, seperti inikah seharusnya takdir kita? Bukankah jika kita saling mencintai, semuanya akan terasa mudah? Tapi kenapa ini terlihat sulit. Atau mungkin hanya perasaanku, pantas saja selalu kamu abaikan ketika aku lupa akan kedewasaan. Justru kamu menertawakanku. Apa aku salah dengan rindu ini?

Ah, aku selalu menunggumu kok. Jangan kaget jika nanti aku masih bertahan sampai kamu siap untuk menjadikanku makmum-mu.

untuk kekasih yang selalu aku tunggu
-AZ-

Jumat, 15 November 2013

Seandainya



Seandainya, aku tak pernah menulis tulisan ini, mungkin tak akan ada yang membaca, apalagi membaca hatiku, tak akan ada yang tau.
Seandainya, aku tak bisa menulis atau aku mempunyai keterbelakangan, siapa yang akan menuliskan pikiranku?
Baiklah, aku cuma manusia biasa. Kadang hanya bisa berandai-andai tentang hal-hal yang indah tanpa cela. Aku mengharapkan kehidupan yang indah. Bagaimana denganmu? Atau memang kau telah sempurna, berbeda denganku yang sesederhana ini?

Seandainya aku tak pernah bertemu denganmu, apa mungkin kau akan mencariku?
Seandainya aku tak pernah ingin mengenalmu, akankah kamu akan mencoba berkenalan denganku lebih dulu?
Seandainya aku tak pernah berbicara denganmu, mungkinkah kau akan membuka mulutmu hanya untuk berkata “hai” padaku?
Seandainya aku tak menghubungimu lebih dulu, apa mungkin kau akan mengambil handphonemu dan sekedar mengetik pesan singkat untukku?
Seandainya aku tak memberimu perhatian, akankah kau menghampiriku hanya untuk menanyakan kabarku?
Seandainya aku tak pernah memberimu rasa, pada siapa kau berikan rasamu?
Seandainya aku tak menerimamu menjadi kekasihku, akan kau apakan rasamu kepadaku, kau pendam atau kau abaikan?
Seandainya aku tak punya apapun, bisakah kau melebihkanku?
Seandainya aku berparas biasa saja, wanita mana yang akan beruntung kau pilih?
Seandainya aku tak menerimamu apa adanya, mungkinkah kau akan berusaha untuk menjadi ada apanya?
Seandainya aku bukan yang kamu pilih untuk masa depanmu, mungkinkah aku akan bahagia?
Seandainya kau tak bisa membimbingku, bisakah aku menjadi setegar sekarang?
Seandainya aku menjadi seorang ibu suatu saat nanti, siapa kamu? Ayah dari anak-anakku kah? Atau hanya teman dari suamiku?
Seandainya sampai di ajalku, mana janjimu yang akan menemaniku sampai akhir hidupku? Aku mengingatnya dan aku menagihnya nanti.
Seandainya Tuhan tak pernah menjodohkan kita, bagaimana kamu meniti hidup tanpaku? Bagaimana juga denganku?
Dan Seandainya aku tak pernah ada di dunia ini, dengan siapa kamu akan bertemu?

Nyatanya hidupku lebih nyata, aku tak pernah berandai-andai, aku tak pernah berusaha menutup mataku, aku melihat dunia dan mensyukuri apa yang ada. Aku percaya, Tuhan memberi takdir tak mungkin tanpa manfaat. Aku punya kamu, yang ditakdirkan untukku dan memberi manfaat untuk hidupku. Sekali lagi, bagaimana denganmu?

seharusnya kamu merasa, kau kah?
-AZ-

Minggu, 10 November 2013

Aku, Kamu, Kita, Rindu, Waktu dan Jarak.

Hai, apa kabar lelakiku?
Maaf yaa baru kasih kabar, akhir-akhir ini aku sudah mulai sibuk. Aku gak sempat balas pesanmu, kamu baik-baik saja kan? Akhir-akhir ini juga kenapa kamu berbeda? Kamu lebih sering mengirimiku pesan dan menelfonku disaat-saat yang tidak tepat. Lebih banyak keluhan di pesanmu. Sering sekali kamu bilang rindu, tapi lebih terkesan seperti marah-marah padaku.
Aku tau kamu merasakan rindu yang sangat dan tak tau harus berbuat apa. Aku tak menyalahkanmu, aku juga tak menyalahkan jarak. Mungkin aku yang terlalu mengacuhkanmu dan berfikir kamu bisa mengatasi semuanya, mengatasi rasa rindumu sendiri. Aku terlalu percaya kamu baik-baik saja disana.
Percayalah sayang, aku disini baik-baik saja. Aku sedang berjuang untuk masa depan kita. Aku pun rindu kamu, tak pernah ingin mengkhianati rasa yang telah kita bangun. Aku mencintaimu. Tapi aku sedang berusaha untuk membuat semuanya seperti biasa, agar tak berujung kecewa nantinya.
Bukankah dulu, kamu yang mengajariku tentang kesabaran? Mengajariku untuk lebih dewasa mengatasi jarak dan masalah-masalah kita. Apa kamu lupa? Atau kamu mulai tak menemukan ujung ketika kamu mencoba segala cara untuk sabar dan dewasa, lalu kamu mulai memberiku alarm untuk tak melakukan hal yang sama denganmu?
Aku tau, mungkin lelah untuk memperjuangkan. Mungkin pernah kamu berfikir untuk berhenti. Mungkin pernah kamu mulai menyalahkan keadaan. Dan mungkin pernah kamu tak menghiraukan akalmu, malah mendengarkan egomu.
Maafkan aku atas semua ini, sayang. Aku sedang berusaha untuk yang terbaik buat kita. Aku tak bisa mengatasi semuanya, aku mengandalkanmu, tapi nyatanya kita sama-sama tak bisa.

---

Hai juga wanitaku.
Aku sedang tidak baik-baik saja. Taukah kamu? Semenjak kamu mulai memberi jeda untuk mengabariku, aku mulai tak tentu arah. Aku berfikir banyak hal tentangmu, aku mulai berfikir takut kehilangan rasamu.
Kamu tentu tau, aku merindukanmu sangat dan aku mulai merasakan pengabaian. Aku tau kamu sibuk dan sesuatu yang konyol jika aku melawan jarak, mungkin hanya membuat pekerjaanmu berantakan.
Aku mulai tak bisa mengendalikan rindu, sayang. Aku berfikir kamu egois, mengacuhkan semua keluhanku. Aku serius, aku sedang tak ingin jauh darimu. Mungkin kali ini aku yang seperti anak kecil, aku yang mengajarimu untuk mengerti kesabaran dan kedewasaan, tapi nyatanya aku sama saja sepertimu, lemah disaat tertentu, kalah oleh emosi.
Iya, aku percaya padamu. Aku tak pernah lelah untuk memperjuangkan rasa kita, sayang. Aku percaya ini hanya sementara, setelah waktunya tiba, aku akan jadi imammu, imam seumur hidupmu. Aku hanya mencintaimu. Walaupun banyak wanita di luar sana yang lebih darimu, tapi denganmu aku sudah merasa cukup dan akan aku jalani hidupku denganmu, aku memilihmu.
Aku harap kita selalu baik-baik saja. Maaf atas emosiku, kadang aku lelah berdebat dengan diriku sendiri. Aku butuh kamu untuk membuat semuanya indah. Aku tak apa-apa kamu sibuk, mungkin ini memang jalan yang terbaik yang Tuhan berikan untuk kita, percaya saja. Tapi taukah kamu? untuk menahan tidak bertemu denganmu, itu adalah hal yang tak pernah aku suka.

---

Kita sedang memperjuangkan rasa. Dan rindu yang ada, biarkan menjadi bagian dari cerita kita. Kita pasti bisa mempertahankan apa yang telah kita sepakati, hati kita yang telah disatukan, pasti akan berujung bahagia. Kita tak harus lari dari semua ini, hadapi saja, Tuhan tau yang terbaik. Tuhan memberi waktu untuk kita saling memantaskan diri sebelum waktunya.

aku, kamu dan kita
kekasih yang selalu percaya
-AZ-

Senin, 04 November 2013

Tentangmu, Kekasih Teristimewa.


Hai kamu, laki-laki yang telah mengisi kekosongan kekuasaan hatiku. Apa kabar? Aku harap kamu tetap mempertahankan rasamu padaku, masih berkeinginan membuat semua mimpi menjadi nyata.  Aku hanya bisa mendoakanmu, memperbincangkanmu dengan Tuhan kita. Dari sini, dari jarak yang begitu kejam memisahkan, aku berusaha bersahabat dengan rindu, agar kamu tak terusik dengan keluh kesahku. Dan disetiap malam menjelang tidurku, aku selalu mengenangmu, kamu yang selalu membuatku tak pernah jera mencintai.

Tentang kamu. Kamu laki-laki tampan, berbadan tinggi, suaramu yang memiliki kelebihan dan hidungmu yang selalu membuat rindu ini semakin dalam. Oh, satu lagi yang tak pernah bisa membuatku lepas darimu, imanmu. Imanmu telah bisa memantaskan dirimu sebagai calon imamku nanti. Terlebih rasa sayangmu yang tulus. Tak memandangku dari segi fisik, tak melemahkanku atas kekuranganku, justru semangatmu untuk merubahku menjadi lebih baik. Baiklah, aku selalu sangat mengagumimu, tak cukup satu persatu aku jelaskan.

Tentang keluargamu. Mungkin aku bertemu keluargamu hanya sekali seumur hidup kita menjadi kekasih. Tapi aku cukup mengenal mereka. Ayahmu, laki-laki tegar, laki-laki yang mirip denganmu, yang mampu menjadi teladanmu. Ibumu, wanita kuat, wanita yang telah menjadikanmu seperti sekarang, wanita yang kamu ciumi karena surgaNya. Kakakmu, seorang wanita juga. Tak berbeda dengan ibumu, wanita yang melindungimu selama ini, yang tak pernah ingin kamu terluka, yang tak pernah ingin kamu diejek oleh teman sekolahmu, yang tak pernah membiarkanmu berjalan sendirian meniti hidup. Adikmu, aku sudah banyak kenal dengan adikmu. Adik tampan yang mirip denganmu, yang pernah aku salah mengira itu dirimu. Adikmu yang kamu bimbing, adikmu yang kau lindungi seperti kakakmu melindungimu. Adikmu yang menjadi pelengkap hidupmu, yang menganggapku sebagai kakak perempuan yang baru dalam keluarga.

Tentang teman-temanmu. Selalu ingin tertawa bila mengingat kalian, kekonyolanmu dan teman-temanmu mampu mebuat suasana kaku menjadi pecah tak terarah. Bahasa khas daerah kalian dan kebiasaan-kebiasaan kalian yang jauh berbeda dengan bahasa dan kebiasaanku. Walaupun kadang membuatku cemburu, kedekatanmu dengan teman-temanmu kadang bisa mengalihkan perhatianmu padaku. Tapi aku tak bisa sepenuhnya cemburu, aku ataupun kamu memang membutuhkan teman, untuk melengkapi salah satu syarat untuk bahagia.

Tentang mantanmu. Aku memang tak mengenalnya, tapi sedikit banyak aku pernah mendengar tentangnya darimu dulu. Katamu dia cantik, idaman setiap laki-laki. Entahlah apa yang kamu pikirkan saat meninggalkan semua kenangan bersamanya dan memilihku? Ah, aku tak ingin membahasnya. Aku bukan membencinya, tapi aku justru berterimakasih, telah menjadikanmu lebih kuat seperti sekarang. Kadang sejarah memang diperlukan untuk masa depan yang lebih baik.

Dan tentang kekasihmu, aku. Aku bersyukur memilikimu. Aku yang kamu cintai dengan tulus, aku yang tak pernah kamu biarkan menangis. Aku yang masih sangat mempertahankanmu meskipun aku melihat jarak yang nyata diantara kita, yang kadang membuatku putus asa, tapi sudahlah, itu bukan pikiran yang dewasa. Syukuri saja jarak ini, mungkin ini memang cara Tuhan untuk kita benar-benar belajar menghargai sebuah pertemuan. Jangan lagi kamu ragukan rasaku, jangan lagi ada kecemburuan, jangan lagi ada ketidakbaikan diantara kita. Kita mampu membuat semuanya bahagia, lalu mengapa kita harus hancurkan? Aku menunggu waktu kita untuk bersama-sama nanti. Percaya akan janji Tuhan. Tuhan selalu memberikan hadiah yang maha setelah perjuangan yang panjang bukan? :)

tentangmu kekasih teristimewa
-AZ-

Minggu, 27 Oktober 2013

Pada Jarak, Aku Menitipkan Rindu :")


Hari yang panjang telah mampu kita lewati, apa mungkin bisa lebih lama lagi dari ini atau hanya akan sebatas rasa lelah yang berani memisahkan. Ah, aku harap tidak, terlalu panjang perjuangan kita selama ini, mana mungkin kita tega membuat semuanya hancur. Banyak yang ingin aku perbincangkan denganmu ketika kita jauh, lebih dari yang kamu bayangkan. Mungkin tak akan habis ceritaku saat waktu telah habis.

Tak hanya cerita yang ingin kubagi, tapi juga rindu. Taukah kamu sayang, rindu ini terlalu dalam, terlalu berlebihan mungkin, tapi ini nyata, ini tulus, ini yang aku rasakan selama jauh darimu. Jarak yang begitu jahat memisahkan kita membuat semuanya terpendam.

Sayang, masihkah kamu selalu mempertahankanku? Ketahuilah, aku disini mempertahankanmu dan menunggumu. Menunggu disaat waktu yang tepat telah tiba, saat kita telah mampu untuk hidup bersama. Seperti yang kita katakan dulu, aku adalah calon istrimu  dan kamu adalah calon suamiku.

Sabar dan percaya. Iya, hanya itu yang seharusnya kita perkuat untuk kedepannya.

Disini, aku tak bisa merabamu, meraba hidungmu yang selalu membuatku tertawa. Aku tak bisa mencium aroma parfum dari tubuhmu yang bisa membuatku mengenalmu. Aku tak bisa berbagi setengah nasi di piringku, seperti yang kau tau, aku tak pernah habis menghabiskan seporsi makananku. Aku tak bisa menggedor pintu kosmu saat kamu bangun kesiangan. Aku juga tak bisa mengusap keringat usaha kerasmu.

Dan disana, kamu tak akan tau kesedihanku. Kamu tak tau aku menangis karena rinduku padamu setiap malam. Kamu tak tau wajahku yang kamu bilang jelek saat menangis. Kamu tak akan bisa memberi sandaran bahumu saat aku menangis. Kamu tak akan bisa mengelus rambutku saat aku bertingkah lucu. Kamu tak akan bisa melihat perubahanku menjadi dewasa, seperti perubahan perempuan-perempuan yang telah disebut wanita. Kamu tak akan bisa merawatku saat aku sakit. Dan kamu tak akan bisa ada saat aku butuh kamu.

Sayang, dilain waktu, aku begitu bahagia telah memilikimu dan masih memilikimu. Kamu tetap bisa menenangkanku disaat aku resah, disaat ego lebih kuat dari akalku. Kamu tetap bisa membuatku tertawa karena candamu, walau itu hanya lewat suaramu diujung sana. Kamu tetap bisa memberiku kabar kegiatanmu seharian dan rencana kegiatanmu besok. Kamu tetap bisa mempertahankan rasa kita. Walaupun kita tau, raga ini sangat begitu terpisah jauh, tapi hatimu selalu kau coba dekatkan.

Tapi taukah kamu, sayang? Aku tersiksa atas rindu ini. Kadang aku bicara pada diriku sendiri, aku tak mampu lagi, aku lelah. Aku berfikir banyak sekali hambatan untuk kita. Apakah ini cobaan dari Tuhan untuk akhirnya didekatkan atau memang Tuhan tak pernah mendekatkan. Tuhan sedang membolak-mbalikkan hatiku, tanpa aku tau maksut dari semua ini. Tapi disisi lain, aku percaya keajaiban Tuhan. Ini hanya sementara, karena Tuhan tau, aku yang paling kamu cintai, aku yang paling kamu sayangi dan aku yang kamu pilih untuk masa depanmu.

Aku mempercayakan semuanya padamu, aku tau kamu pasti lebih bisa membuat semuanya baik-baik saja. Karena kamu calon imamku, kamu pemegang keputusan terbesar nantinya. Tetaplah menjaga semuanya yang telah kita ciptakan, sayang. Tuhan tau yang terbaik untuk kita.


teruntuk kekasih
yang selalu sabar dan percaya
-AZ-

Jumat, 25 Oktober 2013

Aku Percayakan Hatiku Padamu, Tuan.

Tuhan maha membolak-mbalikkan hati.
Pernah aku berfikir akan keberadaanmu yang begitu penting dihidupku, tuan.
Itu nyata, apa yang menurutku tak baik, kamu mampu membuatnya seakan baik-baik saja.
Sesekali pun, aku pernah berfikir agar kamu hilang, tak lagi ada untukku.
Tapi mungkin waktu itu amarah sedang menggerogoti hatiku.
Coba kamu tau rasanya sakit jadi aku, rasa sakit karena telah menaruhmu sebagai satu-satunya yang ada di hati.
Iya, sebagai satu-satunya pria selain Ayahku yang aku cintai.
Bahkan aku sampai tak ingin kamu pergi walaupun itu hanya sebentar.
Mungkin kamu jahat dan aku tak tau apa maksutmu, membuatku jatuh cinta sedalam ini.
Menurutku, cinta itu enggak buta, tapi memahami atau lebih tepatnya saling memahami.
Jadi, seharusnya kamu tau apa permintaanku.
Buka rasa kepekaan hatimu, tuan!
Mengertilah disaat aku diam dan menginginkan kamu pergi, itu hanya sekedar basa-basiku untuk menahanmu, justru aku ingin ada kamu.
Disaat aku menangis, tolong bersabarlah mendengarkan ceritaku, lihat saja betapa jeleknya aku saat itu dan tetaplah berada di sampingku.
Karena bersamamu, itu sangat melegakan hatiku yang sedang kacau.
Maaf kalau aku selalu membuatmu kesal, tuan.
Tapi itu adalah salah satu caraku untuk mencintaimu.
Tapi ketika waktu amarahmu melebihi amarahku, membabi buta menyalahkan semua keluhanku dan omonganku, mungkin itu karena kamu sayang aku.
Aku percayakan hatiku padamu, tuan.
Aku merindukanmu tanpa jeda dan mencintaimu tanpa alasan.

teruntuk kekasih
yang tak ingin berhenti mencintai
-AZ-

Rabu, 16 Oktober 2013

Yang Tak Pernah Jera Memperjuangkan :):


Aku mencintaimu
Dengan segala asaku untuk memperjuangkanmu
Aku pernah remuk, aku pernah jatuh
Hanya agar mereka tau
Rasa ini bukan mulutku saja yang berbicara, tapi hati
Kamu pasti memahami
Tak banyak mauku
Bersamamu selamanya itu sungguh membahagiakan
Menjalani semuanya bersama
Tapi apa kata mereka pada kita?
Mereka pikir ini hanya main-main
Restu pun belum mereka berikan
Iya memang, katakan pada semua, ini memang permainan hati
Yang akan berujung kemenangan
Aku telah melawan mereka
Melawan apa yang mereka sebut durhaka
Melawan kenyamanan
Hanya untuk duduk bersamamu di pelaminan
Apalagi yang kurang dari kita, sayang?
Bahagia, sudah
Saling cinta, sangat
Lalu kenapa masih ada perlawanan
Bukankah cinta itu seharusnya mudah, sayang?
Oh, mungkin belum waktunya
Anggap saja ini ujian
Ujian yang harus dilalui, biar kamu dan aku bersatu
Tuhan menjajikan senyum setelah tangis, bukan?
Kali ini, biarkan saja mereka menolak
Biarkan mereka membentengi
Kita bangun saja hidup ini
Hidup yang bisa menghancurkan benteng itu.
Aku menunggumu sayang
Tak akan beranjak ke hati yang tak henti menyapa
Biarkan waktu yang berbicara
Berbicara tentang kebahagiaan kita

teruntuk kekasih
yang tak pernah membuatku jera untuk bertahan, AZ :)

Selasa, 17 September 2013

Mampukah kita tetap bersama :')

Aku yang tak sempurna, aku yang tak bisa menonjolkan apapun dari diriku. Aku bertemu denganmu, pria yang mungkin bisa menarik banyak wanita, ketaatanmu kepada Tuhanmu, tampanmu, dewasamu dan baikmu. Bukan masalah aku atau kamu yang menerima apa adanya dan bukan masalah umur yang berbeda tigabelas bulan. Tak peduli masa lalumu, tak peduli bagaimana hidupmu sebelum denganku, karena aku tau, itu yang membentukmu menjadi seperti sekarang.

Rasa nyaman, telah berhasil kamu ciptakan dengan tulus, tuan.

Tatapan matamu saat bertemu dengan mataku, teduh :) mengatakan tanpa berkata bahwa aku yang terpilih untukmu. Berbagi apapun yang seharusnya kau simpan, bukan lagi senyuman yang ada, tapi tawa lepas itu yang kau tampakkan. Semuanya terasa istimewa, tuan.

Iya, karena sekarang aku dan kamu telah menjadi kita. Tidak lagi tersekat. Pantaskah aku menyebut ini cinta, tuan? atau terlalu lucu untuk seumuran kita?

Mampukah kita tetap bersama, membagi setengah nasi di piringku dan memindahkannya di piringmu, kamu selalu tau, aku butuh kamu untuk menghabiskan satu porsi makananku.
Mampukah kita tetap bersama, terjaga bersama menunggu dinginnya segelas kopi di cafe itu. Kita selalu tau kesukaan masing-masing, aku segelas capuccino dan kamu segelas teh susu hangat.
Mampukah kita tetap bersama, menunggangi motor tangguhmu berkeliling jalan hanya untuk memperpanjang waktumu denganku. Nyamankah kamu dengan dekapanku dari balik punggungmu?
Mampukah kita tetap bersama, memberi senyuman terindahmu disaat aku lelah, disaat aku bilang aku tak mampu, disaat itu kamu selalu mengingatkanku bahwa aku adalah wanita terhebat yang telah kau temui.
Mampukah kita tetap bersama, ketika kita tak saling bertemu, ketika jarak telah mampu membuat rindu ini lebih kuat dari biasanya, ketika kita mencari cita-cita masing-masing, ketika mimpi telah terwujud dan ketika semua telah berujung.

Aku tak ingin bertanya kapan kau akan memberi kepastian atas kisah kita. Aku juga tak ingin memberimu batas atas perasaan kita. Berharap selamanya, tanpa ada pertanyaan mampukah kita lagi. Aku tau keseriusanmu, jangan kecewakan aku, tuan. Karena sakit itu sungguh menyiksa. Dan aku tak mau kita merasakan siksa.

Cukup tepati janjimu, tuan. Aku percayakan padamu, jadilah ayah dari anak-anakku kelak :')

Sabtu, 07 September 2013

Hati ini telah saling bertemu, apa yang salah?

Setiap pasangan pasti ingin bahagia, ingin mencapai masa depan bersama. Iya, ingin berjodoh. Begitu juga kita, kita yang telah lama sepakat untuk bertemu hati, berjuang bersama-sama untuk setia. Itu rencana indah kita. Tapi Tuhan punya rencana lain, sayang. Tuhan punya syarat untuk mempersatukan kita, tapi dengan ijin orang tua kita, restu orang tua mungkin lebih tepatnya.
Diujung rasa rindumu, disetiap belaian sayangmu, kita menyimpan kegundahan. Orang tua kita tidak pernah atau mungkin belum memberi kita bahagia. Pasti, orang tua kita masing-masing menginginkan yang terbaik untuk kita. Kita juga, ingin yang terbaik, tapi mungkin versi kita dan mereka berbeda.
Tak pernah aku ingin terjadi perpisahan tanpa sebab yang jelas. Sampai sekarang, belum pernah aku bisa terima alasan mereka. Apakah mereka tak pernah menyetujui kita karena kamu telah merebutku dari kekasihku yang dulu? Aku benar-benar tak pernah tau itu.
Siapa yang tau takdir Tuhan kalau memang harus seperti ini, ya atau mungkin memang jodoh itu bisa datang dari hasil tikungan. Dan setauku sayang, jodoh akan datang walaupun kita gak pernah meminta jodoh itu datang.
Aku tak pernah meminta apapun sekarang, aku selalu membicarakanmu dengan Tuhan kita, berharap setiap doa ini memang benar.
Ketakutan ini, apakah sama dengan ketakutanmu, sayang? takut dikala kita tak bisa bersatu? bukankah rasa saling memiliki ini sudah terasa nyaman, kenapa ada fikiran untuk berpisah?
Ini terlalu berani, sayang. Perjuangan kita ini terlalu hebat, tidakkah kau merasa lelah? Oh iya, aku sempat lupa dengan kata "lelah". Kadang atau mungkin sering aku merasa lelah dengan semua ini. Bukankan setiap orang berhak untuk merasa tak sanggup dan ragu? aku punya rasa itu.
Tak pernah tau ujung dari cerita ini, bahkan ketika aku menulis ini, belum ada kejelasan untuk kita. Bahkan kita sudah pernah merencanakan pesta pernikahan kita nanti dan berencana untuk keluarga kecil kita. Iya itu lucu, tapi apakah itu akan hanya jadi kelucuan yang menjadi bagian dari suatu hubungan?
Tuan, entah bagaimana perasaanmu kepadaku, yang aku tau, aku hanya bisa mempertahankanmu. Bisakah kau juga mempertahankanku. Ini tentang kita, tuan. Bukan tentang mereka.
Hati ini telah saling bertemu, tidak mungkin akan kita abaikan dan berpura-pura saling tak kenal. Tuhan pasti tau ini, pasti.

Kamis, 15 Agustus 2013

Perasaan yang Kamu Ciptakan.


Mengenalmu saat itu adalah hal biasa saat itu, bertemu dengan orang yang tak pernah aku melihatnya dan mengetahui namanya. Semua terlihat normal, dan terus bergulir normal hingga perbincangan yang selalu kita anggap sebagai kenyamanan. Tak pernah aku menghiraukan siapa kamu dan seperti apa dirimu. Pikirku, asal nyaman itu sudah cukup. 

Aku biarkan kenyamanan ini. Ceritamu yang begitu menggelikan dan kadang mengharukan, membuatku tertarik akan kehidupanmu. Bahkan aku tak pernah takut, kalau-kalau perasaan ini berubah, cinta. 

Sebelum tidurku, kubaca satu persatu pesan singkatmu, meneliti bagian yang ingin selalu aku ingat. Membayangkan parasmu, mengingat bagian yang selalu membuatku tak ingin berpisah. Suaramu dari telfon selularku, menemaniku sampai detik terakhir pejaman mataku. 

Hariku terisi olehmu, tak pernah memalingkan pandanganku akan parasmu. Hingga malam itu, kamu mengundangku untuk berbicara lebih dekat. Di balkon cafe itu, kamu memilih tempat yang tepat untuk lebih membuatku merasa nyaman, disebelah kaca dan menghadap ke jalan melihat lalu lalang kendaraan, tempat favoritku. Ditemani secangkir cappuccino, kesukaanku. Dan tentu aku hafal denganmu, kamu tak ingin merusak badanmu, iya secangkir teh susu untukmu. 

Entahlah, mungkin ini terlihat biasa diantara kita, tapi suasana dan keheningan malam itu yang membuat semuanya berbeda. Obrolan kita seketika berubah, tak lagi seperti kekanak-kanakan. Apa yang terjadi ? Aku mulai berfikir jauh tentang perasaan. Aku lupa, lupa bahwa aku punya cinta untukmu, tapi tak pernah terungkapkan. Karena aku sudah nyaman bersamamu. Keadaan ini membuatku berharap lebih darimu, berharap bahwa kamu juga pernah merasakan cinta, tapi baru akan kau ungkapkan sekarang. 

Tangan gagahmu meraih tanganku, dengan kalimat andalanmu sambil mengernyit “Kamu itu manis”. Taukah kamu ? berulang-ulang kali kamu ucapkan kata-kata itu padaku sejak kita dekat dan berulang-ulang kali juga aku tak dapat sembunyikan rasa malu ini. Ingin rasanya aku merekam suaramu itu, kemudian aku dengarkan ketika aku tidak sedang bersamamu, mungkin aku akan bersorak-sorak dan berkata dengan kencang “Aku sedang bahagia!”. 

Tanganmu yang sedari tadi tak kamu lepaskan dari tanganku, yang akhirnya membuatku tak lagi merasakan gugup, lebih dari sebuah kenyamanan. Lebih-lebih perkataanmu setelah itu, kamu meberitahukan padaku tentang rasamu. “Sudah sama-sama dewasa, tak usah menyembunyikan sesuatu yang membuat gelisah. Aku suka kamu, bagaimana denganmu ?”. Ternyata, kamu mempunyai rasa yang sama ? apalagi yang membuatku tak bahagia sekarang. Tuhan menghadiahkan hari ini untukku. 

Perlahan kamu ceritakan satu persatu bentuk perhatianmu kepadaku yang tak kusadari. Tapi, semuanya hanya sesaat. Tak seindah yang aku gambarkan. Setelah kamu mulai bercerita dengan sebutan “Dia”. Tidakkah kamu merasa sungkan akan melukai hatiku ? Rasa bahagia yang kamu ciptakan, kamu pula yang menghancurkan. Sudah berapa kali kamu pacaran ? tetapkah kamu tak mengerti perasaan wanita ?. Kebahagian yang telah kita bangun, ternyata tak sepenuhnya milik kita, hanya milikku. Kenapa baru sekarang kamu bilang, kamu telah memiliki dia saat kamu mencoba mencuri perasaanku. Adilkah kamu sebagai pria ? 

Tangan ini berusaha tetap memegangmu, mata ini tetap ingin melihat sosokmu dan bibir ini tetap terus ingin bercerita denganmu. Tapi siapa aku diantara kalian ?. Kukira aku adalah satu-satunya yang kau kagumi. Aku mungkin telah menjadi bagian dari perasaanmu, tapi aku yang tidak akan lagi menjadikanmu bagian dari perasaanku. 

Kamu yang pernah aku cintai, akan aku relakan bersama dengan yang lain, orang yang telah kamu pilih sebelum aku. Aku bukan siapa-siapa, seharusnya. Terlalu cepat aku mencintaimu, bahkan sebelum aku mengenalmu.

Maaf, mengecewakanmu.


Mengagumi laki-laki yang selalu bersamaku adalah kebiasaanku. Membiarkannya bahagia atas tingkah laku kita sehari-harinya. Iya, laki-laki itu pacarku. Dan setiap pasangan pasti menginginkan kisahnya menjadi masa depan. Tapi berbeda, yang tanpa aku sadari, aku masih mengingat masa laluku, masa lalu yang sebenarnya kelam tapi menyisakan ceceran kenangan yang kadang susah untuk dilupakan.
Tingkahku berbeda ketika aku mengingat sosok masa laluku, haus akan perhatiannya dan menginginkan jemarinya yang masih teringat di pikiranku. Sampai aku tau, tak akan bisa aku membohongi lelakiku tentang rasa yang seharusnya tak aku tunjukkan lagi.
Saling bercengkerama adalah hal biasa yang kita lakukan. Menceritakan sesuatu yang dianggap biasa, menjadi luar biasa ketika kita bicarakan berdua. Menanyakan keadaan walaupun setiap saat kita saling memperhatikan.
“Jadi, ada apa denganmu ?” tanyanya mengejutkan disela-sela perbincangan bodoh kita.
“Ada apa ?” jawabku tertegun dengan tatapan kagumku yang berubah menjadi tatapan terancam.
“Aku mengenalmu melebihi siapapun. Dan kamu tau tulusnya aku. Aku pasti tau sedikit saja perubahanmu”. Lirih pernyataan itu, dengan matanya yang tajam dan parasnya yang tampan, tak lagi menunjukkan ketegasannya. Hanya kekhawatiran di raut wajahnya.
Aku tertegun, melihatnya aku malu. Aku tau tak akan bisa aku berbohong, karena kebohongan tak akan bisa selamanya disembunyikan. “Maafkan aku, masa lalu yang telah aku hindari, serasa memaksa untuk tak dihindari. Aku merindukannya”.
“Apa yang kamu lakukan dibelakangku ? Apa sudah tidak ada logikamu. Cinta yang tak lagi mempertahankanmu, masih saja kamu penjarakan di pikiranmu ?”
Aku ingat aku hanya wanita. Aku tak bisa menjawab semuanya dengan tegas ketika aku memang salah. Aku meneteskan air mata. Air mata yang harus aku keluarkan memang, untuk laki-laki yang telah aku khianati ini.
“Taukah kamu, sayang ? Orang itu tak lagi pantas ada di pikiranmu. Kalau boleh aku berkata padamu, aku juga pernah berfikir tentang masa laluku. Semua orang tau, masa laluku, wanita itu terlihat sempurna. Tak ada lelaki yang mampu menolaknya. Tapi aku lebih bisa menghargai takdir. Aku memilikimu sekarang, sosok yang aku perjuangkan, karena aku tau ketulusan rasamu ke aku melebihi masa laluku sendiri”, menegaskan dia kepadaku, mengusap wajahnya yang tampan dengan tangannya, menandakan kekecewaannya kepadaku.
“Maafkan aku, maaf aku hanya bisa mengecewakanmu” terisak aku dalam tangisku.
“Aku tau aku tak sempurna. Tapi paling tidak kita bisa saling melengkapi. Kita adalah satu, tidak mungkin memperjuangkan hanya setengah” emosinya mereda dengan mata teduhnya mencoba menenangkanku.
“Kita jalani sama-sama, ketulusan yang bisa mengalahkan semuanya”. “Aku janji, kamu akan bahagia bersamaku”. “Aku tak perlu ada orang lain di hidup kita, hanya aku dan kamu”.
Kalimatnya membuat aku sadar, tersenyum lebar. Ada sosok yang selama ini menyayangiku dengan tulus, tak ingin menyakitiku. Bagaimana bisa aku tak melihat itu ? Ah, mungkin karena aku tak pernah ada niat untuk menghilangkan masa laluku.
Aku memang harus mencoba. Mencoba mencintai orang yang mencintaiku, sebelum aku kehilangannya.