Pelukanmu, mendekapku dengan
tulus. Melingkarkan lengan kuatmu pada tubuh kecil ini, sampai tak ada lagi
gelisah yang mampu aku ungkapkan, semuanya terasa lebur. Pelukanmu sungguh
hangat, menutupi dinginnya hujan dikala itu. Kau berikan kecupan di ujung
kepalaku, menyentuhkan tanganmu pada rambut ikalku, mengusap-ngusapnya –nyaman.
Tak peduli resah yang sedari tadi
berlari-larian mengejar kita, keresahan akan perpisahan. Tak bisa lagi
menjelaskan satu-persatu kesedihan, bagiku pelukmulah sebuah jawaban. Aku tau
dekapan ini hanya sesaat, tak akan bisa dipertahankan. Tapi setidaknya saat-saat
itulah bahagiaku sudah cukup terbayarkan sebelum kepergianmu dan membiarkan
jarak menertawakan kita –lagi.
Aku mendapati tanganku basah oleh
air mata, tapi aku sedang tak menangis, aku sedang merasakan kenyamanan, tak
perlu aku tangisi pikirku. Oh itu bukan air mataku, air mata itu keluar dari
sudut matamu yang kosong. Aku menatapmu, sesosok pria yang aku sadari telah
merebut hatiku, menangis karenaku? Aku sudah lama mengenalmu, tapi aku tak
mengenalmu saat ada kesedihan dalam pikiranmu. Bukankah selama ini kamu yang
mengajarkanku ketegaran?
“Aku sayang kamu, aku enggak mau ninggalin
kamu. Alasan apa yang membuat orangtuamu melarang hubungan kita? Umur kita kah
atau aku yang belum bisa menyelesaikan kuliahku? Kalau memang karena itu, aku
janji sama kamu, suatu saat nanti pastikan akulah yang akan memintamu –dengan
siap”. Terlontar kalimat itu dari mulutmu, sambil mengisak tangismu. Tenang
saja, aku tak memandangmu sebagai laki-laki cengeng. Aku tau itu adalah
perasaan tulusmu.
Tak banyak ucapku, seharusnya
akulah yang menegarkanmu saat kamu lemah. Tapi apalah aku? Seperti yang kau
tau, aku ada dibelakangmu, bahagia saat kau bahagia dan justru jauh lebih sedih
ketika kau bersedih.
Kuberanikan menyeka aliran air di
pipimu, ku kembangkan senyum terbaikku dan memberimu kepastian “Aku
menunggumu”.
Pelukan itu kembali merekat, jauh
lebih kuat, seperti tak ingin dilepaskan. Tangis malah pecah, membanjiri paras
kita masing-masing. Mengikat harapan dan melepaskan keraguan.
Aku mengulang menatap matamu,
tawa manismu merekah di bibir tipismu, menandakan penguatan. Saat itu aku
berharap aku tak akan mendapatimu pergi -mungkin.
Hari itu, bagiku, tak akan ada lagi
hari bahagia yang lainnya, sampai “suatu saat nanti” yang kau janjikan itu. Kini aku
memilih sendiri menjalani hidupku, tanpa pria lain yang menawarkan sandaran
bahunya padaku. Dan sekeras apapun orangtuaku, mungkin ini hanya masalah waktu.
Tugasku dan tugasmu hanyalah: berbuat sebaik mungkin.
Aku tetap menunggumu, inilah
pejuangan dan aku percaya Tuhan sedang melihat.
saat terakhir kita sebelum bertemu kembali
-AZ-
wih nice :))
BalasHapusmakasi kak :)
Hapussering-sering berkunjung yaa.
selamat berjuang :)
BalasHapuspasti itu kak :")
Hapusmakasi sudah berkunjung kak.
Huwaaaa.. semoga saja akhirnya happyending ya :3
BalasHapusamin kak, harus bahagia pokoknya :D
Hapusmakasi kak sudah berkunjung.
Jadiin novel keren nih :)) lanjutin dong ceritanya..
BalasHapusOiya, kalau ada waktu dan berkenan mampir ke blog yuk ! Ada tips mengakrabkan diri dengan ortu pacar loh :))
amin. semoga bisa jadi novel kak :D hehe
Hapusiya nanti pasti tak lanjutin kak.
iyaa aku udah berkunjung kak, boeh banget itu tipsnya. makasi yaa :))
keren keren ;D
BalasHapusselamat berjuang ;)
makasi kakak :))))
Hapussering-sering yaa berkunjung :3