Selasa, 12 Mei 2015

Titik Dua: Kamu



Kepada pagi
Kepada dingin
Kepada gigil yang memeluk tubuh
Semoga sinar tak perlu malu untuk tampak
Membasuh rindu pada hangat

Pagi yang gila, menumpukkan rencana yang maha di setiap harinya. Angin dingin menerpa muka membelai bersih tanpa cela. Ada sekelebat ingat saat pertemuan dengan pria tampan, yang mampu menghangatkan. Pria itu mulai dari sekarang akan aku sebut sebagai: kamu. 

Aku masih duduk di sudut yang sama, dipinggir kasur memegang secangkir kopi yang sudah mulai berkurang setengahnya. Aku menatap jendela kamar dengan seksama, menghitung berapa tetes air jatuh yang sebenarnya tak terhitung jumlahnya, seirama dengan bulir rasa di hati yang mulai bergejolak dan memberontak. Hati yang bercerita tentang kejatuh cinta-an padamu yang mulai tampak.

Ini tentang hatiku yang mulai menggilai setiap bahagia yang kau bawa, lalu meresap ke seluruh tubuh seperti tinta.

Ini tentang hatiku yang bangun dari mati, berpendar ketika kau dekati. Merangkul luka yang sebelumnya aku pikir tak akan terobati.

Ini tentang hatiku yang sibuk menata jantung yang berdebar. Ada rasa yang bergetar dan tak mau kalah dengan sakit yang mulai longgar.

Ini tentang hatiku yang mulai kelimpungan menghadapi gejolak perasaan. Memaksa diri sendiri meruntuhkan benteng pertahanan. Menimbang-menimbang besar kecilnya kesakitan yang akan ditimbulkan dari sebuah kedatangan.

Dan, Ini masih tentang hatiku, yang mulai menggigil saat tau tentang hatimu.
Nyatanya, hatiku terabaikan pada kesempatan yang pertama oleh: kamu.

Kamu!
Laki-laki bertubuh tinggi dan berparas tampan.
Kamu!
Laki-laki pecinta tulisan.
Kamu!
Laki-laki pemerhati pakaian.

Datang dan memaksa tinggal kemudian tanggal. Membawa pergi setiap bahagia dan menyisakan tinta racun yang telah menyebar dengan gila. Mengkoyak peristirahatan dari rasa suka, kemudian menyulut api di dalam tungku hati dan membakar luka. Mencoba menusuk dada agar jantungku tak lagi berdebar, melubangkan luka agar semakin besar. Membiarkanku mabuk dan tak sadar perlahan-lahan mulai membunuh diri sendiri, sementara kau tau bahwa aku pasti mati walaupun tanpa belati.

Jadi, haruskah aku memang berada dalam satu waktu, ketika aku mencintai sekaligus membenci: kamu.

5 komentar:

  1. Tepuk tangan takzim untuk miss galau :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha terima kasih, kamu yang selalu mengikuti alur ceritaku :)))

      Hapus
  2. bener bener pantas dijuluki miss galau, tulisannya bagus :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Galaunya nempel banget nih di punggung, kayak sayap. Hahaha
      Terima kasih yaa sudah berkunjung, sering-sering yak :))

      Hapus