Minggu, 30 November 2014

Jatuh Cinta Tak Pernah Sehebat Ini.



Apa kabar kamu, sering kali aku bertanya seperti itu padamu, bukan karena aku terabaikan tapi karena aku merindukanmu. Apa kabar jerawat di pipimu ketika terakhir kali bertemu denganku? Masih ada kah? Aku selalu suka dengan jerawatmu, kamu bilang itu akibat dari kamu terlalu banyak merindukanku. Setelah kita memutuskan untuk saling ingin memiliki, walaupun tanpa ikatan yang pasti, tapi itu tak membuatku berhenti menyayangimu. Aku selalu memperhatikan setiap senyummu yang selalu mampu membuatku jatuh hati. Aku selalu merasa bahagia ketika kamu lupa akan umurmu dan bermanja-manja kepadaku.

Hei kamu lelaki yang mampu membuatku luruh.

Ingatkah kamu bagaimana pertama dulu kita bertemu? Tentang tatapan pertamamu kepadaku, kamu selalu salah tingkah ketika aku berbalik menatapmu. Tanganmu yang mencoba melebur dengan punggung tanganku pertama waktu itu, kamu terasa sangat malu-malu. Candaan pertamamu waktu itu yang masih enggak aku pedulikan. Obrolan kita yang terlalu banyak diam, serta semua hal-hal yang membuat semuanya dimulai. Aku tak selalu jelas mengingat bagaimana kita bertemu, tapi yang aku jelas tau, kita sama-sama menginginkan.

Sebenarnya, kamu adalah pria yang biasa saja. Penampilanmu yang sering apa adanya, mungkin tak akan membuat pandangan perempuan beralih kepadamu. Kamu lebih sering terlihat hanya memakai kaos dan setelan jeans panjang dengan rambut yang dibiarkan acak-acakan. Sepertinya kamu tak peduli dengan adanya penemuan baru di bidang fashion seperti pomade. Ya, mungkin batas ketidak-tertarikan perempuan itu hanya sampai ketika kamu membuka obrolan, dan aku yakin, perempuan mana yang tak berhasil kamu buat nyaman dengan sifatmu yang friendly. 


Percayalah, kadang fisik harus di-nomor-duakan oleh perempuan ketika urutan puncak telah dihuni rasa nyaman.


Caramu untuk mendekatiku malah tak terlihat sama sekali olehku. Atau justru kamu yang terlalu pandai menyembunyikan kedok-mu? Pesan singkatmu selalu membuatku menanti. Sesekali kamu menawarkan telingamu untuk mendengar cerita suka dan dukaku, bahkan cerita tak pentingku. Kamu terlalu berbeda dengan kebanyakan pria yang lain yang membuatku merasa dikejar. Kamu datang seperti teman yang selalu dapat diandalkan.

Aku sangat bahagia dengan ungkapan-ungkapan sederhana kita setiap hari seperti: “Lagi apa?”, “Sudah makan belum?”. Aku juga sangat bahagia ketika kamu berusaha mengirimiku suara bangun tidurmu lewat voice note yang hanya sekedar mengucapkan “Selamat pagi”, walaupun suaramu terdengar sangat cempreng bagiku. Kamu selalu membuatku merasa manis dan istimewa. Tapi sesekali kamu juga pernah membuatku marah hanya karena ejekan dan candaanmu. Tenang saja, kamu tau kan? Aku memang perempuan yang gampang sekali ngambek.

Dan bertambahnya hari aku semakin tenggelam dalam rasaku padamu. Kamu yang selalu memberiku kejutan-kejutan sederhana yang tak pernah terpikirkan olehku. Padahal setauku, kamu bukan orang yang romantis. Kamu tau apa minuman kesukaanku dan kaget ketika aku bosan memesan minuman yang sama, kamu tau jam berapa aku tidur, kamu tau kerudung mana yang menjadi favoritku, bahkan kamu bisa membedakan aku sedang berdandan atau tidak saat bertemu denganmu.

Sekian lama kita bersama, sampai hari ini kamu tak pernah lupa mengingatkanku untuk menjaga kondisi fisikku yang ringkih, katamu aku ini pelupa soal menjaga kesehatan. Padahal justru kamu yang sering lupa, bekerja tak kenal waktu.

Sekali waktu dalam hidupmu, pernah kamu begitu lemah, meminta sandaran bahuku untuk menjadi rumah. Yang kamu inginkan adalah mendengar suaraku menenangkanmu dan aku yang mengusap lembut ujung kepalamu. Mungkin kamu hanya butuh penguatan. Setauku, pria setegar dirimu, hanya akan merasa nyaman meluapkan ceritanya jika bersama perempuan yang sudah dianggap pasangan jiwa. Untuk keadaan satu itu, aku berterima kasih telah mempercayakan emosimu kepadaku.

Oh iya. Terlepas dari semuanya, maafkan aku jika selalu merepotkanmu. Maafkan aku kalau membuatmu lelah menghadapiku. Aku ingin kita menghadapi masa depan dengan tetap saling menggenggam. Karena bersamamu, aku merasa semesta telah menciut cukup menjadi kamu. Aku merasa genap. Seharusnya aku juga patut berterima kasih pada Tuhan dan semesta yang telah kompak mempersatukan.

Aku baru saja menyebut Tuhan bukan? Aku sering berbincang denganNya. Membicarakan sesuatu hal yang penting. Membicarakan kamu. Dalam sujudku, saat dahi membentur sajadah yang beraroma dingin, aku meminta agar aku kuat. Kuat menjagamu.

Kepada kamu lelaki yang mampu membuatku luruh. Sekali lagi, apa kabar kamu?

Aku beri tau, jatuh cinta tak pernah sehebat ini.

Jumat, 14 November 2014

Dua Puluh Rindu.


1.     Aku rindu hidung kecilmu
2.    Aku rindu rambutmu yang acak-acakan
3.    Aku rindu senyum grogimu
4.    Aku rindu jerawat di pipimu
5.    Aku rindu suaramu ketika menguap
6.    Aku rindu matamu yang membelalak ketika aku memujimu
7.    Aku rindu gigimu yang rapi
8.    Aku rindu rambut halus di dagumu
9.    Aku rindu baju kotak-kotak dan topi kesayanganmu
10.  Aku rindu caramu meminum kopi
11.  Aku rindu leluconmu yang mampu membuat pecah
12.  Aku rindu cerita hidupmu
13.  Aku rindu logat Bahasa Indonesiamu yang ke-jawa-an
14.  Aku rindu caramu menikmati lagu
15.  Aku rindu melihatmu sibuk dengan kerjaanmu
16.  Aku rindu tatapanmu
17.  Aku rindu manjamu
18.  Aku rindu tanganmu yang menggenggam tanganku
19.  Aku rindu menggandeng lenganmu
20. Aku rindu semua hal yang membuatku rindu

Aku rindu kamu
Lelaki yang mampu membuatku luruh

Rabu, 29 Oktober 2014

Dua Potong Roti.


Senja membumbung di langit-langit bumi, hari hampir petang. Berjalan menyusuri jalanan yang penuh sesak dengan deru mesin. Menunggangi kuda besi tua bermesin yang masih memberikan tumpangannya kemana arah tujuanku. Raga yang tetap berada pada keadaan berkendara, namun jiwa ini, atau lebih tepatnya isi kepala ini telah terlanjur menyeruak ke pinggiran jalan raya. Jalanan yang sudah tak layak ijak.

Ada yang lebih tak layak, pandangan tersorot pada gadis kecil berlari lantang. Menginjak jalan seperti sudah hafal bagian mana yang rusak. Rambut kemerah-merahannya semakin tampak tersapu oleh cahaya senja, debu menempel di bagian-bagian helainya. Wajah manis namun lusuh. Kulit cokelat gelap tak bersih. Baju kemeja satu-satunya menempel di badan, kotor dan kedodoran. Gadis kecil lucu namun bukan dari golongan mampu.

Tetap bersenandung melantunkan lagu, berlari ke arahku. Dia berlari lincah menyusuri sisi selokan beton dengan kaki telanjang. Santai saja, seperti sudah biasa. Mata beningnya berbinar ke satu pandangan, ke sebuah tujuan. Tentengan di tangannya sepertinya yang membuat gadis itu tersenyum senang. Aku mengamati, berhenti sejenak. Dua potong roti terbungkus plastik transparan. Roti cokelat keemasan dengan balutan keju, berbintik-bintik keabuan di beberapa titik, bekas gigitan gigi manusia di ujung. Roti apa?

Selayaknya pencari warta, aku memutar pikiran tak berguna ini. Dari mana gadis kecil itu dapatkan roti semacam itu? Roti aneh, mungkin tak dijual di sembarang tempat. Lalu dari mana dia mendapatkan uang untuk sebuah roti spesial. Uang dari Ibu? Uang dari hasil kerjanya mengamen atau memulung? Atau mungkin masih ada malaikat berwujud manusia yang memberikannya pada gadis kecil itu? Ah, entahlah. Dia terus mengayunkan tentengannya, melewati bayanganku, tersenyum manis padaku dan aku mulai mendapati punggungnya menjauh dari pandanganku.

Gadis-gadis kecil asing lainnya mulai berdatangan. Sepasang mata telah berkoordinasi cepat dengan pikiran, kuda besi aku tancapkan, ke arah gadis kecil itu menatap tujuan.

Remang-remang di balik gedung perkantoran. Gadis kecil itu duduk di gunungan kertas, kardus, botol bekas dan sayuran busuk. Masih mendekap dua potong roti yang dibungkus plastik transparan. Senyum mengembang dari mulut kecilnya, gigi tak beraturan kelihatan lebih pudar tak terkena sinar, tersemat luka gatal di ujung bibirnya hampir seperti nanah mau pecah. Diambil sepotong roti dari salah satunya dengan tangan kanannya, diletakkannya salah satu yang lain di samping dudukannya. Dihilangkan bintik-bintik keabuan di roti kebanggaannya, jamur busuk yang juga berlomba untuk mendapatkan kenikmatan. Gigitan gigi di roti itu bukan miliknya, mulutnya terlalu kecil untuk gigitan selebar itu, giginya terlalu berantakan untuk bentuk serapi itu. Gigitan dari manusia-manusia kalangan mampu. Ditaruhnya roti itu di pangkuannya, dikosongkan kedua tangannya, ditelentangkan telapaknya menghadap langit, memejamkan mata lusuhnya. Diakhiri ritualnya dengan kata Amin, lalu kembali tersenyum. Dilahapnya sepotong roti hasil karyanya, mengunyahnya dengan nada pelan, digigitkan bergantian dengan gigi sebelah kiri kemudian sebelah kanan, membagikan kenikmatan yang adil pada rongga mulutnya.

Dua potong roti. Dua potong roti yang mampu membuat gadis kecil seperti duduk di pelataran restoran berkelas. Tanpa memikirkan berapa banyak angka yang tertera di sudut restoran. Entah tertera pada menu di papan atau hanya tertera pada buku bergambar makanan dan minuman. Gadis kecil itu terlihat bahagia, tanpa mempedulikan. Nyatanya, gadis kecil itu hanya duduk di pelataran sampah, dengan menatap bintang di sudut bulan. Setidaknya untuk malam ini, gadis kecil itu tak lagi memikirkan kelaparan.

Mataku menyeringai jijik menyaksikan mulut kecilnya menghabiskan dua potong roti busuk. Tuhan memang adil padanya, menciptakan fase kehidupan yang nyata, menciptakan kemelaratan untuk sebuah kesyukuran. Andai tak ada kata melarat. Namun hal itu agaknya mustahil. Kemiskinan tak akan pernah hilang dari dunia ini. Kemiskinan telah ada dari zaman para nabi. Kemiskinan telah tertulis dalam kitab suci. Dan kemiskinan tak akan pernah musnah dari bumi.

Aku ingat kembali pada gadis kecil itu. Dua potong roti. Dua potong roti sudah bisa membuat matanya berbinar penuh harapan. Sedangkan aku, aku punya uang yang nilainya jauh lebih dari dua potong roti. Segerobak roti mungkin bisa saja kubeli. Tapi walaupun dengan uang di saku yang bisa membeli segerobak roti, nampaknya tak bisa cukup membuatku bahagia sepertinya. Lalu bagaimana dengan manusia-manusia kalangan mampu yang lain?

Kemiskinan bukan ukuran. Kekayaan apalagi. Atau justru, kebahagianlah yang menjadi ukuran kemampuan. Gadis kecil miskin, tapi tak pernah miskin ilmu. Dia kaya, kaya cara untuk mempertahankan hidupnya.

-end



Ide cerita dari: Gita Atam. Salam rindu dariku untuk gadis kecil di otakmu.

Kamis, 02 Oktober 2014

Sehari Membangun Anak Negeri.

Penerus bangsa dari SDN 01 Kota Lama Malang
Foto oleh: Gita Atam

Saya bertemu dengan anak-anak penerus bangsa. Hari Senin, Tanggal 29 September 2014. Saya pernah menjadi kalian, memimpikan suatu profesi. Tapi kalian belum pernah menjadi saya, mungkin akan atau melebihi seperti saya nantinya.

Kalian mengenal saya sebagai seorang perempuan yang menjadi panutan dengan janji di tangan: “Kita harus cerdas, jujur dan bertanggung jawab”, tapi kali ini kalian memberiku kesempatan untuk membakarnya menjadi kobaran api yang tak ingin padam, semakin besar hangat ketika tertiup angin, dan kemudian sampai pada tubuh dan jiwa yang seharusnya. Iya, tubuh dan jiwa kalian sendiri.

Acungan-acungan tangan mungil yang menantang langit. Menyerukan sumpah untuk menggapai cita-cita. Saya sempat iri, bagaimana kalian begitu yakin dan tak memikirkan jalan di belakang. Entah masa lalu kalian suram atau bukan juara kelas, tapi kalian punya mimpi yang luar biasa.

Kali ini, saya biarkan kalian berlari dari tempat dimana kalian kini berdiri, pergi mengejar impian hingga punggung kalian tak terlihat lagi oleh saya. Langit pagi yang tadinya begitu dingin menjadi hangat, sehangat semangat yang saya tularkan pada kalian. Kalian menyadarkan saya, bahwa tak ada batas untuk terus menjadi yang terbaik. Tawa kalian menyisakan haru bahagia. Atau kalian lah memang salah satu bahagia saya.

Satu diantara anak kecil tak berdosa menerangkan cita-citanya kepada saya, “Ingin membahagiakan orangtua” katanya. Saya harus menyebutnya sebagai cita-cita, atau memang itu kewajiban setiap manusia? Saya tersenyum manis padanya, tapi dia dengan senyum lebarnya dan membanggakan kalimatnya. Luar biasa!

Saya percaya kalian pasti bisa menjadi masa depan bangsa, yang hebat. Didukung oleh orangtua kalian yang tak pernah jera memberikan doa, yang mencium kening kalian sebelum kalian menuntut ilmu tanda mulainya mengejar cita-cita.

Dunia ini punya kalian, kalian yang selalu ingin mengelilingi dunia. Lalu, apa yang akan saya khawatirkan di masa yang akan datang? Saya rasa kalian sudah menjawab semuanya.

Dan dari sini, saya akan menjadi saksi perkembangan cita-cita kalian, saya akan menjadi buku kenangan untuk kalian yang akan saya bacakan sebagai sejarah perjalanan bangsa. Hingga nanti saya berdebu, tertumpuk oleh ratusan mimpi dari anak-anak lain. Akan selalu ada seseorang yang menjadi buku kalian, karena saya yakin, kisah kalian tak akan pernah berhenti.

Salam hangat dari Kakak Ria
Terima kasih, kalian hebat.

Kelas Inspirasi Malang 2014
SD Negeri 01 Kota Lama Malang 

Jumat, 22 Agustus 2014

Ijinkan Aku Jahat, Tuhan.

Tengkukku bergetar, aroma ketakutan membumbung tinggi. Tubuh mungilku menggigil, diterpa air maha dahsyat. Mata terpejam, air bagai menimpuk wajah, mulut berkomat-kamit seraya mengucap doa tanda peristiwa. Selang kemudian, sekujur tubuhku telah berbalut kain putih, mereka bilang ini kain suci. Aku tersungkur di atas alas tak bertuan, bersiap bertemu Tuhan.

Masih sepertiga malam, malam paling panjang dibukakan pintu permohonan.

Sujudku kali ini, mereka bilang sujud untuk Tahajud. Di akhir ibadahku, mereka bilang aku bisa meminta apapun pada Tuhan, mereka bilang ini adalah waktu tanpa jeda dengan Tuhan. Aku akan menceritakan semuanya pada Tuhan, semoga Ia tak pernah bosan.

Aku lelah, Tuhan.
Berpura-pura baik-baik saja dan membohongi akalku sendiri. Bukankah seharusnya aku tak boleh bohong Tuhan?

Aku lelah, Tuhan.
Memendam perasaan iri dan tetap bertingkah laku seperti orang sabar. Bukankah orang lain bilang kita harus menjadi diri sendiri?

Aku lelah, Tuhan.
Menjadi orang baik-baik, sampai mereka tak tau akal picikku sebenarnya. Bukankah setiap orang berhak untuk mengungkapkan pendapat?

Aku lelah, Tuhan.
Tetap tersenyum pada orang-orang yang telah mencemoohku. Bukankah setiap orang berhak untuk memperjuangkan harga dirinya, Tuhan?

Aku lelah, Tuhan.
Berfikir semuanya akan baik-baik saja pada sesuatu yang jelas-jelas tak mungkin. Bukankah orang bilang seharusnya aku melepaskan sesuatu yang bukan milik kita, Tuhan?

Aku lelah, Tuhan.
Ikhlas pada sesuatu yang sebenarnya ingin aku miliki. Bukankah orang bilang, kita harus mengejar apa yang kita inginkan?

Kalau saja aku adalah malaikatMu, mungkin aku tak akan berkata lelah. Tapi Tuhan telah menciptakanku sebagai manusia, bahkan jauh dari sempurna.

Bolehkah aku istirahat sebentar, Tuhan?

Ijinkan aku jujur tentang pendapat jelekku. Ijinkan aku iri pada semua orang. Ijinkan aku menjadi orang jahat. Ijinkan aku marah ketika aku dicemooh. Ijinkan aku sombong. Ijinkan aku memiliki semua yang aku inginkan.

Tapi, jangan hukum aku Tuhan, aku takut padaMu. Aku hanya ingin merasakan bagian-bagian manusiawi yang selama ini aku hilangkan demi mengharap Surga-Mu.

Tuhan, jika aku sekali saja berbuat jahat, bilangkan juga pada mereka bahwa aku ini adalah orang baik, aku hanya sedang ingin merasakan menjadi mereka yang bisa seenaknya tanpa memikirkan dosa.

Sekali lagi Tuhan, aku lelah. Lelah terus mengeluh, terus meminta dan terus mengkhianatimu. Aku malu padamu Tuhan. Maafkan aku.

“Tuhan yang maha baik, tolong jaga hatiku baik-baik”.

Minggu, 10 Agustus 2014

Dihilangkan atau Menghilangkan (?)

Kita memang tak pernah menamai hubungan kita sebelumnya. Entah mungkin kita memang merasa tak perlu atau memang tak penting. Yang jelas, laki-laki dan perempuan yang menurutku sudah sangat akrab, tak mungkin tak saling memiliki rasa. Kita terlalu dekat, sedekat mereka yang telah saling mengikat.

Sampai akhirnya, aku telah sampai pada pilihanku. Pilihan atas perjuangan yang melelahkan. Aku memilih menyerah. Bukan karena aku ingin disebut sebagai pecundang, tapi lebih karena tugasku sudah selesai, tugasku telah digantikan, olehnya.

Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyerang, menghunus seperti pedang. Mungkin ini terkesan berlebihan. Aku tak berlebihan, karena mungkin kamu perlu menjadi aku untuk tau rasanya.

Kalau saja aku lebih pandai membaca masa depan, mungkin aka tak akan memperjuangkanmu sehebat ini sebelumnya. Kalau saja aku tak mengartikan segala perhatianmu sebagai rasa sayang, mungkin aku tak akan memberimu kesempatan untuk meletakkan posisi yang paling penting di hatiku. Aku terlalu bodoh, aku terlalu cepat jatuh cinta.

Sebelumnya, aku menikmati setiap tertawa genitmu di ujung telfonku. Aku menggilai setiap pesan singkatmu yang tak pernah absen muncul di layar handphoneku. Aku tersipu malu dan merasa menjadi paling bahagia saat ada banyak kecupan lucu walaupun hanya berbentuk tulisan.

Aku menyukaimu.

Begitu banyak hal yang aku lakukan, begitu tak tanggung-tanggung aku berusaha untukmu. Seharusnya aku tak mempedulikanmu ketika kamu mulai datang di hidupku. Seandainya saja aku tak pernah mengenalmu, aku tak akan tau rasanya menangis tersedu.

Lalu sekarang, bagaimana perasaanmu? Legakah? Aku sudah tak bisa menannyakannya lagi padamu, karena aku telah kamu hilangkan.

Sayangnya, kita tak bisa saling menyapa, seperti dulu sebelum kita ada rasa, karena aku telah kamu hilangkan.

Awalnya aku tak pernah berfikir untuk meninggalkanmu, tapi nyatanya, aku yang justru kamu hilangkan, dari hidupmu.

Jadi, siapa yang dihilangkan atau menghilangkan, yang jelas bagianmu di hidupku atau bagianku di hidupmu, telah selesai.

Sabtu, 05 Juli 2014

Perempuan Beruntung Itu, Aku.


Aku pernah sakit hati, remuk sudah. Dikhianati oleh sesorang itu, seperti kalah telak. Sampai akhirnya aku bertemu denganmu, laki-laki dewasa dan bersuara merdu. Laki-laki tampan yang membuat wanita di sekitarmu seakan benci padaku, yang jelas-jelas mampu menyandingmu dengan akrab. Tatapan matamu memberikan degup jantung yang tak biasa, namun nyaman. Mungkin, aku telah merasakan jatuh, iya, jatuh cinta.

Zoe, aku adalah perempuan biasa, aku tak memiliki kelebihan untuk menarik pria-pria di sekitarku. Tapi ketahuilah, aku selalu mampu jujur pada diriku, bahwa aku tulus menjadi pendampingmu.

Zoe, aku adalah pecinta coklat dan eskrim, keduanya mungkin tak baik untuk berat badanku. Tapi seperti yang kamu tau pula, aku adalah salah satu orang yang bisa menjadi alasan untuk di iri oleh perempuan lain, karena badanku tak akan bisa melar walaupun telah banyak makanan yang masuk ke dalam mulutku. Menurutku karena coklat dan es krimlah aku bisa lebih lama memandangmu, setidaknya selalu ada waktu yang kau sediakan untuk menemaniku untuk sekedar duduk makan es krim rasa coklat, walaupun itu terasa membosankan bagimu. Hahaha maaf, Zoe.

Zoe, aku sekarang sedang bekerja, aku adalah Sekretaris Direktur di sebuah perusahaan. Aku tak peduli kenapa jurusanku yang seharusnya berhubungan dengan alam harus terjun ke dunia seperti ini. Aku menikmati pekerjaanku, seperti yang selalu aku ceritakan padamu setiap harinya. Yang aku pedulikan adalah ketika melihatmu cemburu hanya karena waktuku yang sering aku habiskan bekerja di kantor, mengurusi kegiatan Direkturku, dan ekspresimu sangat terlihat tak suka dengan itu.

Aku selalu ingin belajar dalam banyak hal, karena aku tak punya talenta yang banyak sepertimu, kamu pandai sekali bernyayi. Tapi aku suka sekali menulis, Zoe. Mungkin kita bisa bekerja sama saja? Biar aku yang menulis baitnya, kamu yang menyenandungkannya, sepertinya kita bisa menjadi partner yang baik. Aku ingin sekali menjadi penulis, Zoe, setidaknya aku juga bisa memenuhi permintaanmu waktu itu, kamu bilang jika suatu saat kita berjodoh, kamu ingin membagikan buku tulisanku tentang kisah kita pada tamu-tamu yang datang, agar mereka tau kisah kita tak mudah. Bantu aku menuliskan cerita di hidupku ya Zoe, sampai aku tak bisa lagi menulisnya.

Selain itu, aku ingin menjadi peneliti, Zoe. Baiklah, ini mungkin bertolak belakang dengan profesiku sekarang, tapi percayalah aku selalu dan sedang mengejarnya. Nanti kamu harus ikut aku kemana-mana, mengikutiku dan menjadi saksi secara detail di setiap ciptaanku tentang ilmu yang baru. Biar kamu bangga karena memilikiku.

Sepertinya aku tak perlu bertanya lagi tentang bagaimana hidupmu, aku tau semuanya, kamu selalu menceritakannya padaku bukan? Aku senang mendengarnya.

Zoe, aku adalah perempuan pendiam, penakut dan pemalu. Aku tak banyak berinteraksi dengan banyak orang. Tapi aku senang membantu orang lain, Zoe. Seperti membantu menemani hidupmu juga.

Aku juga bukan orang baik, tapi Tuhan memberiku hadiah yang indah, hadiah itu berbentuk kamu. Sepertinya aku ditabok kebahagiaan sama Tuhan.

Zoe, aku tak bisa banyak bercerita padamu, aku rasa kamu sudah sangat mengerti tentangku. Sekarang, tugasmulah menjelaskan pada jarak, biar jarak juga bisa mengerti kita.

Sabarkan aku, seperti sabarmu pada dirimu sendiri.

Aku sayang kamu, Zoe.

Rabu, 02 April 2014

Surat Untuk Mantan

Ada warna di setiap tulisan penaku, yang menghiasi ruang hitam di sudut pikiranku. Selalu menggembirakan. Memberikan kebahagiaan, sekalipun kadang teriris oleh kekecewaan sebuah jarak beratus-ratus kilometer. Mungkin warna itu telah berhasil menggambarkan wajahmu, yang selalu menjadi bayangan terindah di dalam hati.

Mencintaimu seperti candu, tak pernah ingin menemukan penyembuhnya. Tiada obat atau tabib untuk memusnahkannya. Sampai saat ini, sampai aku seringkali menuliskan puisi-puisi kenangan kita, yang sesekali justru menghidupkan luka.

Aku pernah mencintaimu dengan tulus, memperjuangkan mati-matian untuk sebuah perhatianmu. Aku kekasihmu, tapi tak seorangpun tau, dan bertubi-tubi mendapat pengabaianmu. Tanpa sebuah paksaan, aku biarkan saja semuanya mengalir, sampai hilir, sampai kau sadar aku yang terakhir. Sadarkah kau, diantara sabarku?

Aku tak mungkin berkata lantang pada dunia, bahwa kamulah satu-satunya yang aku pinta, bahwa ingin aku didampingimu, bahwa aku tak akan bisa memberi warna pada tulisanku jika tanpamu. Karena aku wanita pemalu, sayang.

Akulah yang bersedia menjadi pelengkapmu, yang akan kau temukan saat bangunmu dan tidurmu nanti.

Aku lihat kamu sempurna. Tapi kenapa buta? kenapa tuli? kenapa bisu?

Aku menyerah, aku pasrah dan aku berhenti menengadah.
Bukan, ini bukan salahmu. Tuhan memang telah menegurku sebelumnya. Tapi aku menutup mata, menutup telinga dan malah menggunakan mulutku saja.
Aku yang cacat.

Aku pergi, sayang.

Tidak untuk kalah, tapi lebih karena memperjuangkan yang tidak memperjuangkanku, itu bukan takdir yang diberikan Tuhan untukku.

Aku diciptakan kuat, diciptakan untuk mendampingi orang yang kuat pula batinnya, hatinya dan imannya. Tapi itu bukan kamu lagi, sayang.

Kamu tak akan bisa lagi membuatku, percaya kau akan berbalik mencintaiku.
Kamu tak akan bisa lagi membuatku, berpikir akan selalu mendampingimu saat senang dan sedihmu.
Kamu tak akan bisa lagi membuatku, meyakini bahwa kamu adalah masa depanku.
Kamu tak akan bisa lagi, melihat rasaku, setelah kau buka mata hatimu.

Selamat menempuh hidup gelapmu, dengan setumpuk penyesalan.

Jangan sebut aku mantanmu, karena kamu tak pernah mengabdi padaku.

Terlepas dari semua itu, terima kasih. Aku dan kamu adalah manusia baik, hanya saja, Tuhan mungkin akan menjodohkanmu dengan manusia yang serupa dengan cerminanmu.


Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth

novel Bernard Batubara dan @gramedia




Jumat, 14 Maret 2014

Cinta Itu “Harus” Memiliki!

Aku berdiam memperhatikan batasan pada ruangan tempatku berbaring, menampung air yang jatuh dari sudut mataku. Dalam pikiranku, tak banyak yang aku pikirkan, tapi ketika aku mengingat satu saja kenangan, bisa saja memenuhi otakku, berat dan sesak. Mungkin ini yang orang sering bilang dengan sakit hati, merasakannya sendiri, memendamnya sendiri dan tak akan ada yang bisa mengerti.

Aku masih saja menggerogoti lukaku sendiri, tak berusaha menyembuhkan, malah aku pelihara dengan baik. Ah, bodoh sekali, kehilangan seseorang begitu saja bisa seperti mengakhiri semuanya. Aku tak yakin akan kapok jatuh cinta, justru malah memulainya lagi mungkin. Dengan ketidakpastian yang sama, sampai Tuhan berkata “ini pilihanKu untukmu”.

Aku bukan menyesali setiap ke-jatuh cinta-anku pada seseorang, tapi yang tak pernah bisa habis pikir, kenapa aku berani melukai perasaanku sendiri dan kemudian menangis hanya karena kesalahanku sendiri? Lucu.

“Cinta itu harus memiliki” itulah justru yang paling bisa diterima seharusnya, bukannya “Cinta  tak harus memiliki”. Apapun, kalau sudah dijauhkan, bagaimana bisa baik-baik saja? Aku tak benar-benar memakan pikiran itu mentah-mentah, karena yang aku tau, ketika aku tak bisa memiliki seseorang, tapi aku tetap mencintainya. Kadang justru aku rela merelakan seseorang itu pada orang lain, bahkan pada temanku sendiri.

Aku menata satu persatu kepingan yang telah hancur, menempelkannya dengan hati-hati. Lalu, aku kembali mengingat, apa benar aku sudah merelakannya untuk pergi? Sudahkah aku mengikhlaskannya untuk temanku sendiri? Apa harus aku merebutnya dan aku mengatakan bahwa aku harus memilikinya? Iya, aku benar-benar tak rela sepertinya. Aku yang mengungkit-ngungkit kenangan. Aku yang menyakiti perasaanku sendiri.

Kalau memang cinta tak harus memiliki, seharusnya tak usah memikirkan, tak usah mengejar, tak usah mencari perhatian. Tapi kenyataan berbeda bukan? Tetap saja memikirkan bagaimana caranya memiliki, menghubunginya walaupun hanya sekedar basa-basi, menanyakan kabarnya walaupun berujung pengabaian, mencari matanya ketika hilang dari pandangan, mengkoreksi semua statusnya di sosial media.

Ketika kamu bilang cinta tak harus memiliki, itu kan hanya akal-akalanmu saja biar kelihatan tegar. Berusaha melupakan rasa sakit yang sebenarnya tak bisa. Berusaha membunuh kesepian padahal lukamu sedang ramai menggerogoti. Berusaha ikhlas padahal hatimu geram. Seharusnya kamu sudah bisa menertawakan kelakuanmu sendiri, bodoh.

Cinta itu harus memiliki. Cinta harus diperjuangkan. Cinta itu harus dikejar, sampai dapat. Jatuh cinta saja dulu, ditinggalkannya belakangan. Miliki saja orangnya dulu, sakit hatinya belakangan. Walaupun sakit hati, setidaknya sudah pernah memiliki. Walaupun tak direstui, setidaknya sudah tau rasanya dihalangi. Walaupun terhalang jarak, setidaknya sudah tau rasanya rindu.

Bisa saja dibingungkan oleh “cinta”, tertawa saja sepuasnya kalau memang sudah merasa dipermainkan oleh satu kata yang banyak sekali orang tak tau artinya.

Rabu, 12 Februari 2014

Jangan Terluka.

Pernah aku tak menghiraukanmu, aku benci padamu dan aku sumpah serapah padamu, tapi percayalah itu hanya emosiku. Aku sayang kamu, aku menganggapmu lebih dari sekedar bagian dari hidupku.

Sudah banyak yang lalu-lalang, tapi semuanya mungkin hanya bisa mampir minum kopi dan memakan kue seperti hanya saat butuh saja mereka menyapa. Tapi entah kenapa, kamu memilih singgah di hatiku ini lebih lama, menginap dan berharap aku menjadikanmu teman hidupku sampai akhir hidupku.

Tak masalah bagiku, aku sudah mengenal keluargamu. Ayahmu baik, ibumu ramah padaku, kakakmu selalu bisa menghargaiku dan hanya satu di keluargamu yang tertutup denganku, adikmu, mungkin karena dia laki-laki pemalu.

Sudah banyak kebersamaan yang kita lewati memang. Aku yang rela mengorbankan kegembiraanku hanya untuk mendengarkan gelisahmu. Aku yang rela berlari letih hanya untuk menjemputmu. Aku yang rela mempertahankan lapar hanya untuk duduk menyandingkan lengan kita untuk makan bersama. Aku yang rela membelalakkan mataku hanya untuk menunggu balasan pesanmu. Aku yang rela melipat rasa bosanku untuk mendengarkan ceritamu. Aku yang rela memeras otakku untuk sebuah kesuksesanmu. Aku yang rela berbohong pada semua orang, agar mereka menganggapmu hebat.

Tapi aku bahagia melakukan semuanya, berharap suatu saat aku akan mendapatkan kabar kesuksesan tentangmu, walaupun tanpa menyebut namaku.

Kali ini, entah apa yang membuatku berfikir untuk menjauh darimu. Padahal semua orang bilang kita cocok, kenapa kita tak bersama saja selamanya? Ah, tak mungkin, aku telah dengan hidupku dan kamu juga telah dengan hidupmu. Semuanya bukan karena aku membencimu, aku takut kekasihmu tak bisa menerimaku yang selalu mengurusi hidupmu, sudah ada dia, percayakan hidupmu padanya.

Atau mungkin aku yang lebih dulu mengkhianatimu, aku telah bersama dengan pria yang Tuhan kirimkan padaku.

Tenang saja, kekasihku orang yang baik, yang akan tetap menghargaiku jika aku menemuimu, tak seperti kekasihmu itu.

Kamu, Sahabatku.

Sahabatku, perempuan cantik, baik, taat beragama dan selalu menganggapku keluarga, sepertimu, tak akan bisa aku lupa. Aku pasti akan menemuimu, asal kekasihmu itu berhenti mengintrogasimu setiap kamu bertemu dengan orang lain. Semoga aku tak pernah mendapat kabar ketidakbaikan tentangmu.


Karena selamanya, aku tak ingin kamu terluka.

Sabtu, 04 Januari 2014

Terima Kasih.

Dua puluh satu tahun, bukan waktu yang lama untuk sebuah pengalaman, tapi waktu yang tepat untuk menentukan masa depan. Hati ini sudah pernah terombang-ambing, disakiti, disembuhkan dan diretakkan kembali. Ah, andai saja Tuhan mempercepat pertemuanku dengan jodohku. Aku sudah lama mencari, seperti setiap orang inginkan, aku menginginkan seseorang yang memiliki kelebihan. Setidaknya bisa melengkapiku saat dia tau kekuranganku. Membangun kebaikan bersama.

Kamu, aku bertemu denganmu.

Badan tinggi menjulang, otot-otot biru di kulitnya menambah aksen di badannya, mata yang tegas memancarkan keyakinan, alis tebal, hidung mancung dan berukuran berlebih yang hampir menjadi fokus utama di wajah, serta kumis dan jambang yang menghiasi kedewasaan.

Kita saling menatapkan pandangan, bibir kita saling berucap nama, tangan kita bersentuhan saling menjabat. Pria di depanku ini sempat membuat tubuhku pucat dingin, tak dapat melontarkan kata-kata, hanya kekagumanku yang mungkin tampak bodoh. Pria yang mampu mengundang kebencian banyak perempuan padaku saat aku mendekatinya. Iya, karena mereka juga menaruh hati yang sama sepertiku.

Kamu yang menurutku memiliki sesuatu yang aku butuhkan. Kamu yang seandainya kamu tau, semua yang ada pada dirimu, itu kriteria yang aku inginkan, kecuali kekuranganmu. Tapi itu bukan masalah bagiku, ketika aku menemukanmu, lalu kemudian aku jatuh hati padamu dan saat itu pula aku menerimamu seutuhnya. Aku kira seperti ada yang berantakan tapi tak terpedulikan olehku.

Aku bersyukur bisa memilikimu kali ini, seperti menang dari sekian banyak perempuan di sekitarmu. Kamu yang periang. Kamu yang tampan. Kamu yang selalu bisa menenangkanku. Kamu yang selalu menjadi penasehat terbaik saat aku kacau. Kamu yang selalu menggoreskan senyum di wajahku. Kamu yang berani. Kamu yang memberiku semangat saat aku lemah. Kamu yang selalu aku ingat saat malam-malam menjelang tidurku. Kamu yang tetap membanggakan aku ketika semua orang mencemoohku. Kamu yang selalu menghargai setiap perjuanganku. Kamu yang setia menerima kejahilanku, candaanku dan semua cerita tak pentingku. Kamu yang mampu tetap tersenyum ketika tangisku pecah didepanmu. Dan kamu yang selalu aku sebut dalam perbincanganku dengan Tuhan. Entahlah, aku selalu merasa genap karenamu.

Ah, bisa saja aku ini bicara tentang semua kelebihanmu dengan gamblangnya, sampai aku lupa kalau aku punya banyak kekurangan, aku sampai tak menyadari hal itu. Tapi kamu menerimaku begitu saja? Aku jadi takut sombong. Tapi sekali lagi, beruntunglah aku, kamu selalu mencegahku dari ketidakbaikan. Aku mendapat banyak sekali pelajaran darimu –tentang hidup.

Aku dan kamu bukanlah manusia yang sempurna, aku punya kelebihan yang menjadi kekuranganmu. Begitu juga dengan kekuranganku yang menjadi kelebihanmu. Kita saling dipertemukan oleh Tuhan, untuk saling melengkapi.

Aku kira Tuhan akan lebih lama lagi mempertemukan dengan beberapa pria yang buruk sebelum bertemu dengan pria yang baik. Tapi perkiraanku salah, Tuhan telah mempertemukanku denganmu, pria terbaik.

Terima kasih, sahabatku.

Akankah kamu yang menjadi jodohku(?).

-sahabat yang mencintai dalam diam-