Rabu, 29 Oktober 2014

Dua Potong Roti.


Senja membumbung di langit-langit bumi, hari hampir petang. Berjalan menyusuri jalanan yang penuh sesak dengan deru mesin. Menunggangi kuda besi tua bermesin yang masih memberikan tumpangannya kemana arah tujuanku. Raga yang tetap berada pada keadaan berkendara, namun jiwa ini, atau lebih tepatnya isi kepala ini telah terlanjur menyeruak ke pinggiran jalan raya. Jalanan yang sudah tak layak ijak.

Ada yang lebih tak layak, pandangan tersorot pada gadis kecil berlari lantang. Menginjak jalan seperti sudah hafal bagian mana yang rusak. Rambut kemerah-merahannya semakin tampak tersapu oleh cahaya senja, debu menempel di bagian-bagian helainya. Wajah manis namun lusuh. Kulit cokelat gelap tak bersih. Baju kemeja satu-satunya menempel di badan, kotor dan kedodoran. Gadis kecil lucu namun bukan dari golongan mampu.

Tetap bersenandung melantunkan lagu, berlari ke arahku. Dia berlari lincah menyusuri sisi selokan beton dengan kaki telanjang. Santai saja, seperti sudah biasa. Mata beningnya berbinar ke satu pandangan, ke sebuah tujuan. Tentengan di tangannya sepertinya yang membuat gadis itu tersenyum senang. Aku mengamati, berhenti sejenak. Dua potong roti terbungkus plastik transparan. Roti cokelat keemasan dengan balutan keju, berbintik-bintik keabuan di beberapa titik, bekas gigitan gigi manusia di ujung. Roti apa?

Selayaknya pencari warta, aku memutar pikiran tak berguna ini. Dari mana gadis kecil itu dapatkan roti semacam itu? Roti aneh, mungkin tak dijual di sembarang tempat. Lalu dari mana dia mendapatkan uang untuk sebuah roti spesial. Uang dari Ibu? Uang dari hasil kerjanya mengamen atau memulung? Atau mungkin masih ada malaikat berwujud manusia yang memberikannya pada gadis kecil itu? Ah, entahlah. Dia terus mengayunkan tentengannya, melewati bayanganku, tersenyum manis padaku dan aku mulai mendapati punggungnya menjauh dari pandanganku.

Gadis-gadis kecil asing lainnya mulai berdatangan. Sepasang mata telah berkoordinasi cepat dengan pikiran, kuda besi aku tancapkan, ke arah gadis kecil itu menatap tujuan.

Remang-remang di balik gedung perkantoran. Gadis kecil itu duduk di gunungan kertas, kardus, botol bekas dan sayuran busuk. Masih mendekap dua potong roti yang dibungkus plastik transparan. Senyum mengembang dari mulut kecilnya, gigi tak beraturan kelihatan lebih pudar tak terkena sinar, tersemat luka gatal di ujung bibirnya hampir seperti nanah mau pecah. Diambil sepotong roti dari salah satunya dengan tangan kanannya, diletakkannya salah satu yang lain di samping dudukannya. Dihilangkan bintik-bintik keabuan di roti kebanggaannya, jamur busuk yang juga berlomba untuk mendapatkan kenikmatan. Gigitan gigi di roti itu bukan miliknya, mulutnya terlalu kecil untuk gigitan selebar itu, giginya terlalu berantakan untuk bentuk serapi itu. Gigitan dari manusia-manusia kalangan mampu. Ditaruhnya roti itu di pangkuannya, dikosongkan kedua tangannya, ditelentangkan telapaknya menghadap langit, memejamkan mata lusuhnya. Diakhiri ritualnya dengan kata Amin, lalu kembali tersenyum. Dilahapnya sepotong roti hasil karyanya, mengunyahnya dengan nada pelan, digigitkan bergantian dengan gigi sebelah kiri kemudian sebelah kanan, membagikan kenikmatan yang adil pada rongga mulutnya.

Dua potong roti. Dua potong roti yang mampu membuat gadis kecil seperti duduk di pelataran restoran berkelas. Tanpa memikirkan berapa banyak angka yang tertera di sudut restoran. Entah tertera pada menu di papan atau hanya tertera pada buku bergambar makanan dan minuman. Gadis kecil itu terlihat bahagia, tanpa mempedulikan. Nyatanya, gadis kecil itu hanya duduk di pelataran sampah, dengan menatap bintang di sudut bulan. Setidaknya untuk malam ini, gadis kecil itu tak lagi memikirkan kelaparan.

Mataku menyeringai jijik menyaksikan mulut kecilnya menghabiskan dua potong roti busuk. Tuhan memang adil padanya, menciptakan fase kehidupan yang nyata, menciptakan kemelaratan untuk sebuah kesyukuran. Andai tak ada kata melarat. Namun hal itu agaknya mustahil. Kemiskinan tak akan pernah hilang dari dunia ini. Kemiskinan telah ada dari zaman para nabi. Kemiskinan telah tertulis dalam kitab suci. Dan kemiskinan tak akan pernah musnah dari bumi.

Aku ingat kembali pada gadis kecil itu. Dua potong roti. Dua potong roti sudah bisa membuat matanya berbinar penuh harapan. Sedangkan aku, aku punya uang yang nilainya jauh lebih dari dua potong roti. Segerobak roti mungkin bisa saja kubeli. Tapi walaupun dengan uang di saku yang bisa membeli segerobak roti, nampaknya tak bisa cukup membuatku bahagia sepertinya. Lalu bagaimana dengan manusia-manusia kalangan mampu yang lain?

Kemiskinan bukan ukuran. Kekayaan apalagi. Atau justru, kebahagianlah yang menjadi ukuran kemampuan. Gadis kecil miskin, tapi tak pernah miskin ilmu. Dia kaya, kaya cara untuk mempertahankan hidupnya.

-end



Ide cerita dari: Gita Atam. Salam rindu dariku untuk gadis kecil di otakmu.

1 komentar: