Taukah kau? Bukan tanpa maksut
aku menanyakan kabarmu setiap hari, aku hanya ingin menjaga kita agar tak
terpisah sekedar menjadi aku dan kamu. Sudah banyak yang aku lalui dalam
kesendirian. Cela yang orang berikan padaku, seolah tak lagi aku hiraukan. Memang
ini kenyataannya, kita memang sedang tidak di kota yang sama, kita terpisah
jarak beratus-ratus kilometer. Tau apa mereka tentang perjuangan? Mereka justru yang tak berani mengambil resiko, bukankah pengecut jika hanya menjalin kasih tapi
tanpa pengorbanan?
Kenyataan lebih mengerti keadaan
kita sepertinya, dan aku tak diijinkan untuk terus mengandalkan ego, aku
dituntut untuk dewasa. Oh, aku ingin berbicara tentang dewasaku. Bisakah aku
disebut mandiri ketika aku telah melakukan semuanya sendirian tanpamu? Mengingat
dulu kita pernah satu, kamu pernah selalu ada untukku. Mungkin kamu tak akan percaya, aku bukan anak
kecil lagi yang hanya bisa merengek, aku telah sabar menghadapi masalah,
seperti yang kamu ajarkan. Waktu dan jarak inilah yang justru membantuku kuat
bertahan, tanpa aku tau dan rencanakan sebelumnya.
Ingatkah kamu? Sebelum ada jarak
diantara kita, kita pernah bermimpi setinggi-tingginya, kita susun dengan
sangat rapi. Merencanakan hal-hal yang akan kita lakukan jika kita sudah
disatukan, aku tak pernah sabar untuk meraihnya. Rasanya ingin kembali ke masa
itu, masa dimana kita bisa saling bertatap, saling mendekap, saling merindukan
dan bertemu, bukan seperti sekarang, hanya bisa saling mendoakan.
Rupanya aku telah berhasil
mengatasi jarak ini, aku baik-baik saja walaupun sudah lama kita tidak bertemu.
Aku tak mencari sandaran lain ketika aku menangis. Aku tak mencari orang lain
yang sanggup menghapus air mataku. Aku tak pedulikan orang lain yang berusaha
memberiku perhatian lebih. Aku juga tak menebarkan pesonaku. Aku menjaga
hatiku, aku memantaskan diri untukmu. Dan yang terpenting memang adalah kepercayaan diantara kita
masing-masing, dan aku yakin semua akan baik-baik saja.
Tapi apalah aku, aku hanya manusia
biasa. Rupanya dalam sabar dan percayaku, aku kadang tak bisa mengendalikan
emosi. Kamu sering sekali membuat rinduku lebih dalam dari biasanya bahkan
memaksa akalku untuk berfikir hal-hal yang tak mungkin. Apalagi disaat malam
tiba, saat aku akan mengakhiri hariku. Dulu selalu kamu yang menjadi penutup
hariku, mengantarku pulang ke rumahku. Tapi sekarang aku menutup hariku
sendiri, ditemani dengan suaramu pula tapi tanpa ragamu. Ah justru itu ujiannya
mungkin, dan percayalah aku tak akan melakukan hal bodoh yang akan membuat
hubungan kita dalam ketidak baikan. Kini, aku hanya bisa membiarkanmu
menari-nari dalam fikiranku, membiarkanmu menjadi tokoh utama dalam ceritaku.
Sayang, seperti inikah seharusnya
takdir kita? Bukankah jika kita saling mencintai, semuanya akan terasa mudah? Tapi
kenapa ini terlihat sulit. Atau mungkin hanya perasaanku, pantas saja selalu kamu
abaikan ketika aku lupa akan kedewasaan. Justru kamu menertawakanku. Apa aku
salah dengan rindu ini?
Ah, aku selalu menunggumu kok. Jangan
kaget jika nanti aku masih bertahan sampai kamu siap untuk menjadikanku makmum-mu.
untuk kekasih yang
selalu aku tunggu
-AZ-