Senja membumbung di langit-langit
bumi, hari hampir petang. Berjalan menyusuri jalanan yang penuh sesak dengan
deru mesin. Menunggangi kuda besi tua bermesin yang masih memberikan
tumpangannya kemana arah tujuanku. Raga yang tetap berada pada keadaan
berkendara, namun jiwa ini, atau lebih tepatnya isi kepala ini telah terlanjur
menyeruak ke pinggiran jalan raya. Jalanan yang sudah tak layak ijak.
Ada yang lebih tak layak,
pandangan tersorot pada gadis kecil berlari lantang. Menginjak jalan seperti
sudah hafal bagian mana yang rusak. Rambut kemerah-merahannya semakin tampak
tersapu oleh cahaya senja, debu menempel di bagian-bagian helainya. Wajah manis
namun lusuh. Kulit cokelat gelap tak bersih. Baju kemeja satu-satunya menempel
di badan, kotor dan kedodoran. Gadis kecil lucu namun bukan dari golongan
mampu.
Tetap bersenandung melantunkan
lagu, berlari ke arahku. Dia berlari lincah menyusuri sisi selokan beton dengan
kaki telanjang. Santai saja, seperti sudah biasa. Mata beningnya berbinar ke
satu pandangan, ke sebuah tujuan. Tentengan di tangannya sepertinya yang
membuat gadis itu tersenyum senang. Aku mengamati, berhenti sejenak. Dua potong
roti terbungkus plastik transparan. Roti cokelat keemasan dengan balutan keju,
berbintik-bintik keabuan di beberapa titik, bekas gigitan gigi manusia di
ujung. Roti apa?
Selayaknya pencari warta, aku
memutar pikiran tak berguna ini. Dari mana gadis kecil itu dapatkan roti
semacam itu? Roti aneh, mungkin tak dijual di sembarang tempat. Lalu dari mana
dia mendapatkan uang untuk sebuah roti spesial. Uang dari Ibu? Uang dari hasil
kerjanya mengamen atau memulung? Atau mungkin masih ada malaikat berwujud
manusia yang memberikannya pada gadis kecil itu? Ah, entahlah. Dia terus
mengayunkan tentengannya, melewati bayanganku, tersenyum manis padaku dan aku
mulai mendapati punggungnya menjauh dari pandanganku.
Gadis-gadis kecil asing lainnya
mulai berdatangan. Sepasang mata telah berkoordinasi cepat dengan pikiran, kuda
besi aku tancapkan, ke arah gadis kecil itu menatap tujuan.
Remang-remang di balik gedung
perkantoran. Gadis kecil itu duduk di gunungan kertas, kardus, botol bekas dan
sayuran busuk. Masih mendekap dua potong roti yang dibungkus plastik
transparan. Senyum mengembang dari mulut kecilnya, gigi tak beraturan kelihatan
lebih pudar tak terkena sinar, tersemat luka gatal di ujung bibirnya hampir
seperti nanah mau pecah. Diambil sepotong roti dari salah satunya dengan tangan
kanannya, diletakkannya salah satu yang lain di samping dudukannya. Dihilangkan
bintik-bintik keabuan di roti kebanggaannya, jamur busuk yang juga berlomba untuk
mendapatkan kenikmatan. Gigitan gigi di roti itu bukan miliknya, mulutnya
terlalu kecil untuk gigitan selebar itu, giginya terlalu berantakan untuk
bentuk serapi itu. Gigitan dari manusia-manusia kalangan mampu. Ditaruhnya roti
itu di pangkuannya, dikosongkan kedua tangannya, ditelentangkan telapaknya
menghadap langit, memejamkan mata lusuhnya. Diakhiri ritualnya dengan kata Amin,
lalu kembali tersenyum. Dilahapnya sepotong roti hasil karyanya, mengunyahnya
dengan nada pelan, digigitkan bergantian dengan gigi sebelah kiri kemudian
sebelah kanan, membagikan kenikmatan yang adil pada rongga mulutnya.
Dua potong roti. Dua potong roti yang
mampu membuat gadis kecil seperti duduk di pelataran restoran berkelas. Tanpa
memikirkan berapa banyak angka yang tertera di sudut restoran. Entah tertera
pada menu di papan atau hanya tertera pada buku bergambar makanan dan minuman.
Gadis kecil itu terlihat bahagia, tanpa mempedulikan. Nyatanya, gadis kecil itu
hanya duduk di pelataran sampah, dengan menatap bintang di sudut bulan.
Setidaknya untuk malam ini, gadis kecil itu tak lagi memikirkan kelaparan.
Mataku menyeringai jijik menyaksikan
mulut kecilnya menghabiskan dua potong roti busuk. Tuhan memang adil padanya,
menciptakan fase kehidupan yang nyata, menciptakan kemelaratan untuk sebuah
kesyukuran. Andai tak ada kata melarat. Namun hal itu agaknya mustahil.
Kemiskinan tak akan pernah hilang dari dunia ini. Kemiskinan telah ada dari
zaman para nabi. Kemiskinan telah tertulis dalam kitab suci. Dan kemiskinan tak
akan pernah musnah dari bumi.
Aku ingat kembali pada gadis
kecil itu. Dua potong roti. Dua potong roti sudah bisa membuat matanya berbinar
penuh harapan. Sedangkan aku, aku punya uang yang nilainya jauh lebih dari dua
potong roti. Segerobak roti mungkin bisa saja kubeli. Tapi walaupun dengan uang
di saku yang bisa membeli segerobak roti, nampaknya tak bisa cukup membuatku
bahagia sepertinya. Lalu bagaimana dengan manusia-manusia kalangan mampu yang
lain?
Kemiskinan bukan ukuran. Kekayaan
apalagi. Atau justru, kebahagianlah yang menjadi ukuran kemampuan. Gadis kecil
miskin, tapi tak pernah miskin ilmu. Dia kaya, kaya cara untuk mempertahankan
hidupnya.
-end
Ide cerita dari: Gita Atam.
Salam rindu dariku untuk gadis kecil di otakmu.