Sabtu, 28 Desember 2013

Saat Terakhir.


Pelukanmu, mendekapku dengan tulus. Melingkarkan lengan kuatmu pada tubuh kecil ini, sampai tak ada lagi gelisah yang mampu aku ungkapkan, semuanya terasa lebur. Pelukanmu sungguh hangat, menutupi dinginnya hujan dikala itu. Kau berikan kecupan di ujung kepalaku, menyentuhkan tanganmu pada rambut ikalku, mengusap-ngusapnya –nyaman.

Tak peduli resah yang sedari tadi berlari-larian mengejar kita, keresahan akan perpisahan. Tak bisa lagi menjelaskan satu-persatu kesedihan, bagiku pelukmulah sebuah jawaban. Aku tau dekapan ini hanya sesaat, tak akan bisa dipertahankan. Tapi setidaknya saat-saat itulah bahagiaku sudah cukup terbayarkan sebelum kepergianmu dan membiarkan jarak menertawakan kita –lagi.

Aku mendapati tanganku basah oleh air mata, tapi aku sedang tak menangis, aku sedang merasakan kenyamanan, tak perlu aku tangisi pikirku. Oh itu bukan air mataku, air mata itu keluar dari sudut matamu yang kosong. Aku menatapmu, sesosok pria yang aku sadari telah merebut hatiku, menangis karenaku? Aku sudah lama mengenalmu, tapi aku tak mengenalmu saat ada kesedihan dalam pikiranmu. Bukankah selama ini kamu yang mengajarkanku ketegaran?

“Aku sayang kamu, aku enggak mau ninggalin kamu. Alasan apa yang membuat orangtuamu melarang hubungan kita? Umur kita kah atau aku yang belum bisa menyelesaikan kuliahku? Kalau memang karena itu, aku janji sama kamu, suatu saat nanti pastikan akulah yang akan memintamu –dengan siap”. Terlontar kalimat itu dari mulutmu, sambil mengisak tangismu. Tenang saja, aku tak memandangmu sebagai laki-laki cengeng. Aku tau itu adalah perasaan tulusmu.

Tak banyak ucapku, seharusnya akulah yang menegarkanmu saat kamu lemah. Tapi apalah aku? Seperti yang kau tau, aku ada dibelakangmu, bahagia saat kau bahagia dan justru jauh lebih sedih ketika kau bersedih.

Kuberanikan menyeka aliran air di pipimu, ku kembangkan senyum terbaikku dan memberimu kepastian “Aku menunggumu”.

Pelukan itu kembali merekat, jauh lebih kuat, seperti tak ingin dilepaskan. Tangis malah pecah, membanjiri paras kita masing-masing. Mengikat harapan dan melepaskan keraguan.

Aku mengulang menatap matamu, tawa manismu merekah di bibir tipismu, menandakan penguatan. Saat itu aku berharap aku tak akan mendapatimu pergi -mungkin.

Hari itu, bagiku, tak akan ada lagi hari bahagia yang lainnya, sampai “suatu saat nanti” yang kau janjikan itu. Kini aku memilih sendiri menjalani hidupku, tanpa pria lain yang menawarkan sandaran bahunya padaku. Dan sekeras apapun orangtuaku, mungkin ini hanya masalah waktu. Tugasku dan tugasmu hanyalah: berbuat sebaik mungkin.

Aku tetap menunggumu, inilah pejuangan dan aku percaya Tuhan sedang melihat.

saat terakhir kita sebelum bertemu kembali
-AZ-

Minggu, 22 Desember 2013

Bidadari Surga: Ibu :")

Seharusnya aku memahami, Ibu bukanlah seperti dulu, bukan lagi wanita yang kuat untuk menggendongku sendirian, bukan lagi wanita yang mengantarkanku ke sekolah dengan harapan. Selayaknya orang tau, Ibu sudah terlihat renta untuk melakukan hal-hal itu. Saat itulah waktunya aku yang bersabar, menggendongnya saat sakit dan mengantarkannya ke dokter dengan harapan kesembuhannya.

Seharusnya aku memahami, saat Ibu tak lagi bisa mengambil sarapannya sendiri, tak lagi bisa berdiri tanpa bantuan, tak lagi bisa mengingat bagaimana cara menghidupkan televisi. Saat itulah aku mengingat, bagaimana ibu menyuapiku. Memberi sorakan gembira saat aku pertama kali bisa melangkahkan kakiku tanpa ibu memegang kedua tanganku. Dan menuliskan cara-cara menghidupkan televisi sendiri, agar aku bisa menonton televisi kapanpun.

Seharusnya aku memahami, saat Ibu sudah tak mengingat lagi dimana letak kacamatanya yang baru saja Ibu pakai dan Ibu mulai mengulang-ngulang kata yang sama yang menurutku membosankan. Saat itulah harusnya aku bersabar mengingatkannya dan mendengarkan kata-katanya tanpa membentaknya. Seperti di masa kecilku, Ibu selalu mematikan lampu kamarku saat aku lupa mematikannya sendiri, tak pernah lelah mengulang-ngulang cerita dongeng yang sama yang mungkin membosankan dan menungguku sampai aku terbuai dalam mimpi.

Seharusnya aku memahami, saat ibu tak mengenal teknologi, tak tau bagaimana caranya menggunakan internet dan tak tau bagaimana menggunakan handphone yang terlalu banyak media sosial. Seharusnya aku tak menertawakannya. Dulu, ketika aku tak tau apa-apa, Ibu selalu menjawab setiap pertanyaan tak pentingku, dengan sabar menjelaskan satu persatu apapun yang aku tanyakan. Meskipun itu hanya pertanyaan konyol “Ibu, kenapa ikan minum air terus, apa ikan itu tidak merasa kenyang?”.

Seharusnya aku memahami, Ibu tak lagi bisa berlari dengan kencang saat aku berteriak kesakitan, tak lagi bisa menjemputku saat hujan ketika aku lupa membawa payung, kedua kakinya terlalu lemah untuk melakukan hal itu sekarang. Saat itulah seharusnya aku mengulurkan tanganku yang masih muda dan kuat untuk memapahnya berjalan. Sama seperti dulu, saat aku masih bayi mungil yang duduk sendiri saja tak bisa, lalu aku ditolongnya, Ibu.

Seharusnya aku memahami, Ibu tak lagi bisa mengingat setiap pembicaraan kita beberapa hari yang lalu, melupakannya begitu saja. Itu terasa menjengkelkan bagiku, harus berbicara berkali-kali dengan topik yang sama. Tapi saat itu seharusnya aku mengerti, seharusnya aku memberikan sedikit waktu untuk ibu mengingatnya. Mungkin saat itu topik pembicaraanku bukanlah yang terpenting baginya, mungkin ibu hanya ingin berada di sampingku dan menjadi pendengar yang baik. Memelukku saat terlihat air mata jatuh dari sudut mataku. Mungkin menurutnya, pelukan adalah jawaban terbaik untuk setiap pembicaraanku.

Seharusnya aku memahami, ada banyak keriput di wajah cantiknya sekarang, seperti menggambarkan betapa banyak masalah yang dihadapinya, mengukirnya satu-persatu dan menunjukkannya padaku bahwa dengan ukiran masalah itu, dia masih bisa tersenyum.

Seharusnya aku memahami, seharusnya aku memaklumi, seharusnya aku mendukungnya. Seperti yang ibu lakukan kepadaku, saat aku belajar mengenal kehidupan. Ibu menuntunku menjalani kehidupan agar aku tak kesepian dan kebingungan.

Terimakasih ibu, meskipun terlalu banyak dusta dan dosa dalam diriku, senyummu tetap menandakan rasa syukurmu memilikiku. Aku tau, di dalam senyummu, tertanam kasih sayang yang tak terhingga padaku. Banyak tersimpan harapan, agar aku menjadi manusia yang baik, sepertimu, yang bisa dituliskan dalam hati orang lain.

Sekarang aku percaya, ada bidadari surga yang Tuhan perlihatkan padaku sebelum matiku.

teruntuk mama
selamat hari ibu :)

Rabu, 18 Desember 2013

Laki-Laki Pemilih

Aku terus memandangi laki-laki yang tak pernah kutemui sebelumnya itu, tak ingin melepas pandangan kemana dia pergi. Laki-laki tampan dan menawarkan pesonanya kepada setiap perempuan. Tubuhnya yang tinggi membuatku semakin tertarik, Aan namanya. Sepertinya laki-laki ini telah berhasil membuatku memiliki perhatian yang lebih padanya. Bukan hanya aku, ternyata banyak perempuan yang berfikiran yang sama denganku waktu kami baru memulai Kuliah Kerja Nyata atau sering kami sebut KKN. Ini memang kegiatan yang menarik bagi kami, teman-teman yang biasanya hanya bertemu di kampus, akan melewati satu bulan penuh di rumah yang sama. Keluarga baru dan kisah cinta yang baru tentunya.

“Hai, sendirian?” suara laki-laki itu sempat mengagetkanku saat aku mendapat giliran piket mencuci piring hari itu. Aku tak sempat menjawabnya, dia mendekatiku dan berdiri tepat di depanku, meraih salah satu piring kotor yang belum sempat aku bersihkan.

“Aku bantu ya?” Ucapnya. Bagaimana aku harus menjawab tidak kalau keadaannya seperti ini. Heranku, kenapa dia memilih untuk membantuku di dapur daripada menonton tivi atau sekedar bercanda dengan 18 anak KKN lainnya.

Tak banyak ucapku saat beberapa lama kami berdua mencoba menyelesaikan pekerjaan kami. Rasanya tak ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini pikirku, nanti saja, toh mungkin tak akan ada kesempatan seperti ini lagi, masih banyak teman-teman perempuanku yang juga ingin berkesempatan bersamanya. Memandang lebih lama laki-laki yang telah merebut perhatianku ini.

Kenapa aku harus serumah dengan laki-laki sepertinya? Itu semakin membuatku tak bisa lepas untuk terus melihatnya, memperhatikan tingkah lakunya bahkan seperti apa kebiasaannya pun aku memperhatikan, tanpa aku pedulikan teman-teman yang lain di rumah itu. Dan itu sudah berlangsung hampir 2 minggu, dengan pandangan yang sama dan dengan perasaan yang sama pula, bahkan lebih.

Aku terperanjat dari tidurku, sudah larut malam sepertinya. Aku melihat teman-teman perempuanku sudah tertidur pulas, lampu ruang utama sepertinya sudah mati, sepi. Tak tau dengan mereka para lelaki, apa yang mereka lakukan malam-malam begini di luar rumah, kami para gadis tak pernah memperhatikan. Tapi ada alasan lain kenapa aku terbangun, aku merasakan getar telfon genggamku, lama sekali bergetarnya. Tak ingin mengangkatnya, tapi kalau tidak, sepertinya akan semakin mengganggu teman yang lainnya, secara kami tidur seperti ikan pindang dan asal cukup dalam satu ruangan berukuran 3x4 meter.

Apakah aku bermimpi? Atau ini hanya halusinasi di malam hari? Aku berusaha membuka mataku, melihat jam dinding di kamar itu, memang sudah lewat tengah malam ternyata. Aku mendapati layar telfon genggamku dengan nama “Aan” sedang mencoba menghubungiku. Ada apa? Aku merasa tak pernah ada urusan dengannya. Setauku tadi siang kami hanya bertukar nomor telfon, itupun memang dilakukan oleh semua teman-teman KKN, agar kalau ada informasi bisa segera dihubungi. Kalau memang ada informasi penting, kenapa harus aku saja yang dihubunginya? Tengah malam pula?

“Kenapa tak cepat diangkat?” Tanya laki-laki diujung telfon itu.
“Ada apa, ada yang penting?” jawabku dengan gagap, sembari menyadarkan diri dari tidurku.
“Tidak, aku hanya ingin menelfonmu”. Suara tegas dan dewasa itu tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Aku kira kamu sudah tidur, apa sebaiknya enggak besok saja bicara denganku? Toh kita tiap hari kan ketemu?” mungkin itu jawaban tak menyenangkan baginya, tapi ini juga tak menyenangkan bagiku. Kalaupun harus mengakhiri telfon itu, aku masih ingin mendengar suaranya, sebenarnya.

“Maaf mengganggumu malam-malam, aku hanya berkesempatan telfon kamu malam hari, aku tak bisa berbicara padamu disaat ada yang lain.”
“Ingin membicarakan apa kamu denganku?” tanyaku penasaran. Mataku benar-benar sudah tak bisa tidur lagi sepertinya.
“Aku rasa kita bukan anak kecil lagi, boleh aku mengatakan sesuatu? Aku menyukaimu, bagaimana denganmu?”.

Aku bukan dalam mimpi, ini kenyataan, laki-laki itu berkata tentang perasaannya padaku. Masih melekat pertanyaannya, susah untuk mencernanya, seperti tiba-tiba saja ada petir yang akan menyambarku, menghindar tak bisa, menerimanya malah akan membuatku sakit. Pikiranku kembali seperti anak SMP yang baru berkenalan dengan lawan jenisku saja, kikuk.

“Apa maksudmu?” jawabku.
“Kurang jelas, aku tak perlu menanyakan untu kedua kalinya kan?”.

Tersentak perasaanku, sulit untuk mengungkapkan. Aku hanya perempuan berparas biasa saja, dibandingkan dengan teman KKN yang lain, mungkin aku tak akan ada di deretan paling cantik. Sedangkan dia ada di paling atas deretan tertampan.

“Aku tidak menyukaimu”, jawabku dengan keraguan. Itu jawaban bodoh yang pernah aku katakan. Tapi aku sadar diri, tak mungkin dia memiliki rasa padaku, mungkin dia salah nomor saat mencoba menelfon, mungkin yang dia maksud adalah perempuan lain di kelompok KKN itu.

“Baiklah, aku tau kamu bohong. Aku sudah lama memperhatikan gerak-gerikmu. Aku tau kemana arah pandanganmu. Kamu sedang jatuh cinta kan? Aku tak akan memaksamu untuk mengatakan perasaanmu padaku, aku tau ini tak bisa disebut gentle, aku hanya menelfonmu. Akan aku katakan langsung nanti kalau waktunya tepat. Untuk sekarang, memang aku tak bisa. Aku tau teman-temanmu juga menaruh hati padaku, aku tak mau mereka sakit hati dan mulai membencimu”, terangnya memberi penjelasan.

Telfon darinya ditutup, tak ada lagi bergeming suaranya di telingaku. Pertanyaannya masih jelas aku ingat. Seharusnya aku menjawabnya dengan jujur, kenapa aku berbohong pada perasaanku? Bodoh sekali. Tapi bagaimana dengan teman-temanku yang lainnya? Egoiskah aku nantinya?

Mungkin ini bukan masalah egois atau tidak, karena perasaanku tak bisa aku kendalikan sebelumnya, sama seperti mereka. Tapi setidaknya, sebagai seorang perempuan, aku pasti akan merasakan rasanya patah hati jika orang yang aku suka malah justru memilih temanku sendiri. Padahal, kita sama-sama memberi perhatian yang sama, dengan porsi yang sama pula.

Aku ingat kata sahabatku di rumah, “Cinta itu enggak pernah bohong. Kalau bohong, itu namanya cuma sekedar berusaha cinta”. Tapi sejujurnya aku tak pernah ingin bohong, mulutku yang berbohong, bukan hatiku.

Mulai malam itu dan keesokan harinya, kami hanya bisa berhubungan lewat pesan, aku menanggapinya. Aku tertawa kecil sendiri, aku melihat tingkah lakunya lebih sering dari biasanya dan aku kadang sedikit menggodanya. Tak banyak yang bisa aku lakukan, yah itu sekali lagi karena aku menjaga perasaan teman-temanku. Aku hanya tak ingin terlihat lebih dispesialkan oleh Aan.

Sehari dua hari mungkin aku bisa terlihat normal, tapi untuk beberapa hari, terlihat konyol mungkin dengan keadaan yang tak nyaman. Aku mengetahui ada laki-laki yang aku idamkan memiliki rasa padaku, tapi aku berusaha menutupinya, seolah tak pernah kenal. Hati ini telah saling bertemu, akankah hanya diabaikan?

Aku dalam kebodohan setiap harinya. Melamunkan hal yang seharusnya menjadi keputusanku sendiri. Aku berfikir aku harus bisa menjawabnya, karena aku adalah pemeran utamanya, aku yang membuat drama ini pula. Hampir satu bulan akan selesai masa KKN ini, tak ada tanda-tanda Aan akan menanyakan rasaku secara langsung. Padahal aku telah siap menjawabnya, aku siap dengan segala resikonya. Mungkin karena sekali lagi terkendala teman-teman. Ah, sampai kapan aku akan menyalahkan keadaan?

Perasaan ini semakin tidak karuan saja, semakin ramai saja pikiranku. Kenapa dia tak pernah berusaha untuk berbicara padaku langsung? Atau aku yang terlalu banyak berharap? Seharusnya aku tau, ini hanya harapan palsu mungkin. Seharusnya aku sadar, ini mungkin hanya perasaan sesaat. Seharusnya aku tak memikirkannya terlalu dalam. Seharusnya aku tak usah terlalu berbahagia. Jelas-jelas belum ada kenyataan. Menangispun, menangis untuk apa.

Dan tiga hari sebelum selesainya KKN, malam itu, Aan mengirimiku pesan untuk menemuinya setelah kegiatan selesai. Kali ini aku tanpa ragu, aku menjemput keputusannya. Aku sudah tak penasaran lagi dengan apa yang akan dia katakan.

“Bagaimana? Apa perlu aku ulang pertanyaanku? Aku menunggu jawabanmu saja. Yang jelas aku menyukaimu, itu saja penjelasanku.” Suaranya yang tegas mulai mengusik pendengaranku.
“Iya, aku juga menyukaimu, maaf kalau sebelumnya aku berbohong, itu karena…” pernyataanku terpotong, sontak dia yang meneruskan.
“Tak perlu dijelaskan, aku tau, karena teman-teman kita kan? Terima kasih atas jawabanmu, aku sangat menghargainya, aku senang kamu memiliki perasaan yang sama. Bisakah kamu menjadi kekasihku?” Seraya meraih tanganku, dan menggenggam erat.

Taukah kalian tentang sebuah perayaan? Seperti itulah perasaanku sekarang. Atau mungkin lebih, tak bisa terbayangkan. Tanganku dingin, aku takut dia tau kalau aku gugup, aku tak bisa mengendalikan kegembiraanku. Aku mencoba melepaskan genggamannya, tapi dia justru mempereratnya sepertinya. Kalian pasti tau jawabanku.

Aku mengangguk, menandakan aku menyetujui pertanyaannya. Senyum merekah diantara kita berdua. “Lalu?” tanyaku.
“Kita jalani saja dulu, yak penting kita punya komitmen dulu. Masalah teman-teman perlahan saja, mereka pasti mengerti. Cinta itu datang tiba-tiba, tanpa ada rencana sebelumnya.”
“Apa alasanmu memilihku, bukankah mereka lebih baik?” tanyaku menegaskan.
“Kamu kira aku melihat mereka dari parasnya? Aku melihat hatimu, aku melihat imanmu, aku melihat ada yang berbeda darimu dan aku melihat kamu adalah cerminanku. Jika orang-orang menilaiku baik, lihatlah dirimu, cerminanku bukan?” mata teduhnya melihatku dengan penuh ketulusan.

Tuhan benar-benar telah mengirimkanku laki-laki yang begitu cukup bagiku. Ini hadiah dari Tuhan mungkin. Sampai beberapa bulan kami menjalani bersama-sama, mulai banyak mereka yang tau tentang hubungan kami. Seperti yang kami khawatirkan sebelumnya, banyak gunjingan, banyak dari mereka yang mengecamku. Aku merasa ini hanya ujian, sampai mana aku bisa mengahadapinya, Nyatanya semuanya tak pernah buruk, aku hanya perlu mendengarkan mereka dan membalasnya dengan senyuman, itu sudah cukup memberikan jawaban.

Tak banyak komentar Aan atas seruan mereka pada kita. Dia hanya menjawab “Aku yang memilihnya”.

Satu hal yang aku pahami, ketika kamu telah memilih dan kamu telah berani memberi harapan pada seseorang, pertanggungjawabkanlah dengan memerdekakan harapannya. Karena akan lebih menyakitkan ketika dia yang mengaharapkanmu mulai lelah dan memilih untuk pergi meninggalkanmu.

Mungkin Aan bukan pacar pertamaku, tapi dia cinta pertamaku. Aku mulai menyadari, aku mencintainya bukan karena hanya ketampanannya. Aku mencintainya karena Allah, karena imannya juga, tak pernah aku melihatnya meninggalkan ibadahnya.

Jika laki-laki itu bisa membimbingmu, merubahmu menjadi lebih baik, menerimamu dengan tulus walaupun dia tau kekuranganmu, jaga dia, pertahankan dia, jadikan dia pilihanmu :)