Aku
terus memandangi laki-laki yang tak pernah kutemui sebelumnya itu, tak ingin
melepas pandangan kemana dia pergi. Laki-laki tampan dan menawarkan pesonanya
kepada setiap perempuan. Tubuhnya yang tinggi membuatku semakin tertarik, Aan
namanya. Sepertinya laki-laki ini telah berhasil membuatku memiliki perhatian
yang lebih padanya. Bukan hanya aku, ternyata banyak perempuan yang berfikiran
yang sama denganku waktu kami baru memulai Kuliah Kerja Nyata atau sering kami sebut
KKN. Ini memang kegiatan yang menarik bagi kami, teman-teman yang biasanya
hanya bertemu di kampus, akan melewati satu bulan penuh di rumah yang sama.
Keluarga baru dan kisah cinta yang baru tentunya.
“Hai,
sendirian?” suara laki-laki itu sempat mengagetkanku saat aku mendapat giliran
piket mencuci piring hari itu. Aku tak sempat menjawabnya, dia mendekatiku dan
berdiri tepat di depanku, meraih salah satu piring kotor yang belum sempat aku
bersihkan.
“Aku
bantu ya?” Ucapnya. Bagaimana aku harus menjawab tidak kalau keadaannya seperti
ini. Heranku, kenapa dia memilih untuk membantuku di dapur daripada menonton
tivi atau sekedar bercanda dengan 18 anak KKN lainnya.
Tak
banyak ucapku saat beberapa lama kami berdua mencoba menyelesaikan pekerjaan
kami. Rasanya tak ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini pikirku, nanti saja,
toh mungkin tak akan ada kesempatan seperti ini lagi, masih banyak teman-teman
perempuanku yang juga ingin berkesempatan bersamanya. Memandang lebih lama
laki-laki yang telah merebut perhatianku ini.
Kenapa
aku harus serumah dengan laki-laki sepertinya? Itu semakin membuatku tak bisa
lepas untuk terus melihatnya, memperhatikan tingkah lakunya bahkan seperti apa
kebiasaannya pun aku memperhatikan, tanpa aku pedulikan teman-teman yang lain
di rumah itu. Dan itu sudah berlangsung hampir 2 minggu, dengan pandangan yang
sama dan dengan perasaan yang sama pula, bahkan lebih.
Aku
terperanjat dari tidurku, sudah larut malam sepertinya. Aku melihat teman-teman
perempuanku sudah tertidur pulas, lampu ruang utama sepertinya sudah mati,
sepi. Tak tau dengan mereka para lelaki, apa yang mereka lakukan malam-malam
begini di luar rumah, kami para gadis tak pernah memperhatikan. Tapi ada alasan
lain kenapa aku terbangun, aku merasakan getar telfon genggamku, lama sekali bergetarnya.
Tak ingin mengangkatnya, tapi kalau tidak, sepertinya akan semakin mengganggu
teman yang lainnya, secara kami tidur seperti ikan pindang dan asal cukup dalam
satu ruangan berukuran 3x4 meter.
Apakah
aku bermimpi? Atau ini hanya halusinasi di malam hari? Aku berusaha membuka
mataku, melihat jam dinding di kamar itu, memang sudah lewat tengah malam
ternyata. Aku mendapati layar telfon genggamku dengan nama “Aan” sedang mencoba
menghubungiku. Ada apa? Aku merasa tak pernah ada urusan dengannya. Setauku
tadi siang kami hanya bertukar nomor telfon, itupun memang dilakukan oleh semua
teman-teman KKN, agar kalau ada informasi bisa segera dihubungi. Kalau memang
ada informasi penting, kenapa harus aku saja yang dihubunginya? Tengah malam
pula?
“Kenapa
tak cepat diangkat?” Tanya laki-laki diujung telfon itu.
“Ada
apa, ada yang penting?” jawabku dengan gagap, sembari menyadarkan diri dari
tidurku.
“Tidak,
aku hanya ingin menelfonmu”. Suara tegas dan dewasa itu tak pernah aku
bayangkan sebelumnya.
“Aku
kira kamu sudah tidur, apa sebaiknya enggak besok saja bicara denganku? Toh
kita tiap hari kan ketemu?” mungkin itu jawaban tak menyenangkan baginya, tapi
ini juga tak menyenangkan bagiku. Kalaupun harus mengakhiri telfon itu, aku
masih ingin mendengar suaranya, sebenarnya.
“Maaf
mengganggumu malam-malam, aku hanya berkesempatan telfon kamu malam hari, aku
tak bisa berbicara padamu disaat ada yang lain.”
“Ingin
membicarakan apa kamu denganku?” tanyaku penasaran. Mataku benar-benar sudah
tak bisa tidur lagi sepertinya.
“Aku
rasa kita bukan anak kecil lagi, boleh aku mengatakan sesuatu? Aku menyukaimu,
bagaimana denganmu?”.
Aku
bukan dalam mimpi, ini kenyataan, laki-laki itu berkata tentang perasaannya
padaku. Masih melekat pertanyaannya, susah untuk mencernanya, seperti tiba-tiba
saja ada petir yang akan menyambarku, menghindar tak bisa, menerimanya malah
akan membuatku sakit. Pikiranku kembali seperti anak SMP yang baru
berkenalan dengan lawan jenisku saja, kikuk.
“Apa maksudmu?” jawabku.
“Kurang
jelas, aku tak perlu menanyakan untu kedua kalinya kan?”.
Tersentak
perasaanku, sulit untuk mengungkapkan. Aku hanya perempuan berparas biasa saja, dibandingkan
dengan teman KKN yang lain, mungkin aku tak akan ada di deretan paling cantik.
Sedangkan dia ada di paling atas deretan tertampan.
“Aku
tidak menyukaimu”, jawabku dengan keraguan. Itu jawaban bodoh yang pernah aku
katakan. Tapi aku sadar diri, tak mungkin dia memiliki rasa padaku, mungkin dia
salah nomor saat mencoba menelfon, mungkin yang dia maksud adalah perempuan lain
di kelompok KKN itu.
“Baiklah,
aku tau kamu bohong. Aku sudah lama memperhatikan gerak-gerikmu. Aku tau kemana
arah pandanganmu. Kamu sedang jatuh cinta kan? Aku tak akan memaksamu untuk
mengatakan perasaanmu padaku, aku tau ini tak bisa disebut gentle, aku hanya
menelfonmu. Akan aku katakan langsung nanti kalau waktunya tepat. Untuk
sekarang, memang aku tak bisa. Aku tau teman-temanmu juga menaruh hati padaku,
aku tak mau mereka sakit hati dan mulai membencimu”, terangnya memberi
penjelasan.
Telfon
darinya ditutup, tak ada lagi bergeming suaranya di telingaku. Pertanyaannya
masih jelas aku ingat. Seharusnya aku menjawabnya dengan jujur, kenapa aku
berbohong pada perasaanku? Bodoh sekali. Tapi bagaimana dengan teman-temanku
yang lainnya? Egoiskah aku nantinya?
Mungkin
ini bukan masalah egois atau tidak, karena perasaanku tak bisa aku kendalikan
sebelumnya, sama seperti mereka. Tapi setidaknya, sebagai seorang perempuan,
aku pasti akan merasakan rasanya patah hati jika orang yang aku suka malah
justru memilih temanku sendiri. Padahal, kita sama-sama memberi perhatian yang
sama, dengan porsi yang sama pula.
Aku
ingat kata sahabatku di rumah, “Cinta itu enggak pernah bohong. Kalau bohong,
itu namanya cuma sekedar berusaha cinta”. Tapi sejujurnya aku tak pernah ingin bohong,
mulutku yang berbohong, bukan hatiku.
Mulai
malam itu dan keesokan harinya, kami hanya bisa berhubungan lewat pesan, aku
menanggapinya. Aku tertawa kecil sendiri, aku melihat tingkah lakunya lebih
sering dari biasanya dan aku kadang sedikit menggodanya. Tak banyak yang bisa
aku lakukan, yah itu sekali lagi karena aku menjaga perasaan teman-temanku. Aku
hanya tak ingin terlihat lebih dispesialkan oleh Aan.
Sehari
dua hari mungkin aku bisa terlihat normal, tapi untuk beberapa hari, terlihat
konyol mungkin dengan keadaan yang tak nyaman. Aku mengetahui ada laki-laki
yang aku idamkan memiliki rasa padaku, tapi aku berusaha menutupinya, seolah
tak pernah kenal. Hati ini telah saling bertemu, akankah hanya diabaikan?
Aku
dalam kebodohan setiap harinya. Melamunkan hal yang seharusnya menjadi
keputusanku sendiri. Aku berfikir aku harus bisa menjawabnya, karena aku adalah
pemeran utamanya, aku yang membuat drama ini pula. Hampir satu bulan akan
selesai masa KKN ini, tak ada tanda-tanda Aan akan menanyakan rasaku secara
langsung. Padahal aku telah siap menjawabnya, aku siap dengan segala resikonya.
Mungkin karena sekali lagi terkendala teman-teman. Ah, sampai kapan aku akan menyalahkan keadaan?
Perasaan
ini semakin tidak karuan saja, semakin ramai saja pikiranku. Kenapa dia tak
pernah berusaha untuk berbicara padaku langsung? Atau aku yang terlalu banyak
berharap? Seharusnya aku tau, ini hanya harapan palsu mungkin. Seharusnya aku
sadar, ini mungkin hanya perasaan sesaat. Seharusnya aku tak memikirkannya
terlalu dalam. Seharusnya aku tak usah terlalu berbahagia. Jelas-jelas belum ada kenyataan. Menangispun, menangis untuk apa.
Dan
tiga hari sebelum selesainya KKN, malam itu, Aan mengirimiku pesan untuk
menemuinya setelah kegiatan selesai. Kali ini aku tanpa ragu, aku menjemput
keputusannya. Aku sudah tak penasaran lagi dengan apa yang akan dia katakan.
“Bagaimana?
Apa perlu aku ulang pertanyaanku? Aku menunggu jawabanmu saja. Yang jelas aku
menyukaimu, itu saja penjelasanku.” Suaranya yang tegas mulai mengusik
pendengaranku.
“Iya,
aku juga menyukaimu, maaf kalau sebelumnya aku berbohong, itu karena…”
pernyataanku terpotong, sontak dia yang meneruskan.
“Tak
perlu dijelaskan, aku tau, karena teman-teman kita kan? Terima kasih atas
jawabanmu, aku sangat menghargainya, aku senang kamu memiliki perasaan yang
sama. Bisakah kamu menjadi kekasihku?” Seraya meraih tanganku, dan menggenggam
erat.
Taukah
kalian tentang sebuah perayaan? Seperti itulah perasaanku sekarang. Atau
mungkin lebih, tak bisa terbayangkan. Tanganku dingin, aku takut dia tau kalau
aku gugup, aku tak bisa mengendalikan kegembiraanku. Aku mencoba melepaskan
genggamannya, tapi dia justru mempereratnya sepertinya. Kalian pasti tau
jawabanku.
Aku
mengangguk, menandakan aku menyetujui pertanyaannya. Senyum merekah diantara
kita berdua. “Lalu?” tanyaku.
“Kita
jalani saja dulu, yak penting kita punya komitmen dulu. Masalah teman-teman
perlahan saja, mereka pasti mengerti. Cinta itu datang tiba-tiba, tanpa ada
rencana sebelumnya.”
“Apa
alasanmu memilihku, bukankah mereka lebih baik?” tanyaku menegaskan.
“Kamu
kira aku melihat mereka dari parasnya? Aku melihat hatimu, aku melihat imanmu,
aku melihat ada yang berbeda darimu dan aku melihat kamu adalah cerminanku.
Jika orang-orang menilaiku baik, lihatlah dirimu, cerminanku bukan?” mata
teduhnya melihatku dengan penuh ketulusan.
Tuhan
benar-benar telah mengirimkanku laki-laki yang begitu cukup bagiku. Ini hadiah
dari Tuhan mungkin. Sampai beberapa bulan kami menjalani bersama-sama, mulai
banyak mereka yang tau tentang hubungan kami. Seperti yang kami khawatirkan
sebelumnya, banyak gunjingan, banyak dari mereka yang mengecamku. Aku merasa
ini hanya ujian, sampai mana aku bisa mengahadapinya, Nyatanya semuanya tak
pernah buruk, aku hanya perlu mendengarkan mereka dan membalasnya dengan
senyuman, itu sudah cukup memberikan jawaban.
Tak banyak komentar Aan atas seruan mereka
pada kita. Dia hanya menjawab “Aku yang memilihnya”.
Satu
hal yang aku pahami, ketika kamu telah memilih dan kamu telah berani memberi
harapan pada seseorang, pertanggungjawabkanlah dengan memerdekakan harapannya.
Karena akan lebih menyakitkan ketika dia yang mengaharapkanmu mulai lelah dan
memilih untuk pergi meninggalkanmu.
Mungkin
Aan bukan pacar pertamaku, tapi dia cinta pertamaku. Aku mulai menyadari, aku
mencintainya bukan karena hanya ketampanannya. Aku mencintainya karena Allah,
karena imannya juga, tak pernah aku melihatnya meninggalkan ibadahnya.
Jika
laki-laki itu bisa membimbingmu, merubahmu menjadi lebih baik, menerimamu
dengan tulus walaupun dia tau kekuranganmu, jaga dia, pertahankan dia, jadikan
dia pilihanmu :)