Mengenalmu saat itu adalah hal biasa saat itu, bertemu dengan orang yang tak pernah aku melihatnya dan mengetahui namanya. Semua terlihat normal, dan terus bergulir normal hingga perbincangan yang selalu kita anggap sebagai kenyamanan. Tak pernah aku menghiraukan siapa kamu dan seperti apa dirimu. Pikirku, asal nyaman itu sudah cukup.
Aku biarkan kenyamanan ini. Ceritamu yang begitu menggelikan dan kadang mengharukan, membuatku tertarik akan kehidupanmu. Bahkan aku tak pernah takut, kalau-kalau perasaan ini berubah, cinta.
Sebelum tidurku, kubaca satu persatu pesan singkatmu, meneliti bagian yang ingin selalu aku ingat. Membayangkan parasmu, mengingat bagian yang selalu membuatku tak ingin berpisah. Suaramu dari telfon selularku, menemaniku sampai detik terakhir pejaman mataku.
Hariku terisi olehmu, tak pernah memalingkan pandanganku akan parasmu. Hingga malam itu, kamu mengundangku untuk berbicara lebih dekat. Di balkon cafe itu, kamu memilih tempat yang tepat untuk lebih membuatku merasa nyaman, disebelah kaca dan menghadap ke jalan melihat lalu lalang kendaraan, tempat favoritku. Ditemani secangkir cappuccino, kesukaanku. Dan tentu aku hafal denganmu, kamu tak ingin merusak badanmu, iya secangkir teh susu untukmu.
Entahlah, mungkin ini terlihat biasa diantara kita, tapi suasana dan keheningan malam itu yang membuat semuanya berbeda. Obrolan kita seketika berubah, tak lagi seperti kekanak-kanakan. Apa yang terjadi ? Aku mulai berfikir jauh tentang perasaan. Aku lupa, lupa bahwa aku punya cinta untukmu, tapi tak pernah terungkapkan. Karena aku sudah nyaman bersamamu. Keadaan ini membuatku berharap lebih darimu, berharap bahwa kamu juga pernah merasakan cinta, tapi baru akan kau ungkapkan sekarang.
Tangan gagahmu meraih tanganku, dengan kalimat andalanmu sambil mengernyit “Kamu itu manis”. Taukah kamu ? berulang-ulang kali kamu ucapkan kata-kata itu padaku sejak kita dekat dan berulang-ulang kali juga aku tak dapat sembunyikan rasa malu ini. Ingin rasanya aku merekam suaramu itu, kemudian aku dengarkan ketika aku tidak sedang bersamamu, mungkin aku akan bersorak-sorak dan berkata dengan kencang “Aku sedang bahagia!”.
Tanganmu yang sedari tadi tak kamu lepaskan dari tanganku, yang akhirnya membuatku tak lagi merasakan gugup, lebih dari sebuah kenyamanan. Lebih-lebih perkataanmu setelah itu, kamu meberitahukan padaku tentang rasamu. “Sudah sama-sama dewasa, tak usah menyembunyikan sesuatu yang membuat gelisah. Aku suka kamu, bagaimana denganmu ?”. Ternyata, kamu mempunyai rasa yang sama ? apalagi yang membuatku tak bahagia sekarang. Tuhan menghadiahkan hari ini untukku.
Perlahan kamu ceritakan satu persatu bentuk perhatianmu kepadaku yang tak kusadari. Tapi, semuanya hanya sesaat. Tak seindah yang aku gambarkan. Setelah kamu mulai bercerita dengan sebutan “Dia”. Tidakkah kamu merasa sungkan akan melukai hatiku ? Rasa bahagia yang kamu ciptakan, kamu pula yang menghancurkan. Sudah berapa kali kamu pacaran ? tetapkah kamu tak mengerti perasaan wanita ?. Kebahagian yang telah kita bangun, ternyata tak sepenuhnya milik kita, hanya milikku. Kenapa baru sekarang kamu bilang, kamu telah memiliki dia saat kamu mencoba mencuri perasaanku. Adilkah kamu sebagai pria ?
Tangan ini berusaha tetap memegangmu, mata ini tetap ingin melihat sosokmu dan bibir ini tetap terus ingin bercerita denganmu. Tapi siapa aku diantara kalian ?. Kukira aku adalah satu-satunya yang kau kagumi. Aku mungkin telah menjadi bagian dari perasaanmu, tapi aku yang tidak akan lagi menjadikanmu bagian dari perasaanku.
Kamu yang pernah aku cintai, akan aku relakan bersama dengan yang lain, orang yang telah kamu pilih sebelum aku. Aku bukan siapa-siapa, seharusnya. Terlalu cepat aku mencintaimu, bahkan sebelum aku mengenalmu.