Kamis, 15 Agustus 2013

Perasaan yang Kamu Ciptakan.


Mengenalmu saat itu adalah hal biasa saat itu, bertemu dengan orang yang tak pernah aku melihatnya dan mengetahui namanya. Semua terlihat normal, dan terus bergulir normal hingga perbincangan yang selalu kita anggap sebagai kenyamanan. Tak pernah aku menghiraukan siapa kamu dan seperti apa dirimu. Pikirku, asal nyaman itu sudah cukup. 

Aku biarkan kenyamanan ini. Ceritamu yang begitu menggelikan dan kadang mengharukan, membuatku tertarik akan kehidupanmu. Bahkan aku tak pernah takut, kalau-kalau perasaan ini berubah, cinta. 

Sebelum tidurku, kubaca satu persatu pesan singkatmu, meneliti bagian yang ingin selalu aku ingat. Membayangkan parasmu, mengingat bagian yang selalu membuatku tak ingin berpisah. Suaramu dari telfon selularku, menemaniku sampai detik terakhir pejaman mataku. 

Hariku terisi olehmu, tak pernah memalingkan pandanganku akan parasmu. Hingga malam itu, kamu mengundangku untuk berbicara lebih dekat. Di balkon cafe itu, kamu memilih tempat yang tepat untuk lebih membuatku merasa nyaman, disebelah kaca dan menghadap ke jalan melihat lalu lalang kendaraan, tempat favoritku. Ditemani secangkir cappuccino, kesukaanku. Dan tentu aku hafal denganmu, kamu tak ingin merusak badanmu, iya secangkir teh susu untukmu. 

Entahlah, mungkin ini terlihat biasa diantara kita, tapi suasana dan keheningan malam itu yang membuat semuanya berbeda. Obrolan kita seketika berubah, tak lagi seperti kekanak-kanakan. Apa yang terjadi ? Aku mulai berfikir jauh tentang perasaan. Aku lupa, lupa bahwa aku punya cinta untukmu, tapi tak pernah terungkapkan. Karena aku sudah nyaman bersamamu. Keadaan ini membuatku berharap lebih darimu, berharap bahwa kamu juga pernah merasakan cinta, tapi baru akan kau ungkapkan sekarang. 

Tangan gagahmu meraih tanganku, dengan kalimat andalanmu sambil mengernyit “Kamu itu manis”. Taukah kamu ? berulang-ulang kali kamu ucapkan kata-kata itu padaku sejak kita dekat dan berulang-ulang kali juga aku tak dapat sembunyikan rasa malu ini. Ingin rasanya aku merekam suaramu itu, kemudian aku dengarkan ketika aku tidak sedang bersamamu, mungkin aku akan bersorak-sorak dan berkata dengan kencang “Aku sedang bahagia!”. 

Tanganmu yang sedari tadi tak kamu lepaskan dari tanganku, yang akhirnya membuatku tak lagi merasakan gugup, lebih dari sebuah kenyamanan. Lebih-lebih perkataanmu setelah itu, kamu meberitahukan padaku tentang rasamu. “Sudah sama-sama dewasa, tak usah menyembunyikan sesuatu yang membuat gelisah. Aku suka kamu, bagaimana denganmu ?”. Ternyata, kamu mempunyai rasa yang sama ? apalagi yang membuatku tak bahagia sekarang. Tuhan menghadiahkan hari ini untukku. 

Perlahan kamu ceritakan satu persatu bentuk perhatianmu kepadaku yang tak kusadari. Tapi, semuanya hanya sesaat. Tak seindah yang aku gambarkan. Setelah kamu mulai bercerita dengan sebutan “Dia”. Tidakkah kamu merasa sungkan akan melukai hatiku ? Rasa bahagia yang kamu ciptakan, kamu pula yang menghancurkan. Sudah berapa kali kamu pacaran ? tetapkah kamu tak mengerti perasaan wanita ?. Kebahagian yang telah kita bangun, ternyata tak sepenuhnya milik kita, hanya milikku. Kenapa baru sekarang kamu bilang, kamu telah memiliki dia saat kamu mencoba mencuri perasaanku. Adilkah kamu sebagai pria ? 

Tangan ini berusaha tetap memegangmu, mata ini tetap ingin melihat sosokmu dan bibir ini tetap terus ingin bercerita denganmu. Tapi siapa aku diantara kalian ?. Kukira aku adalah satu-satunya yang kau kagumi. Aku mungkin telah menjadi bagian dari perasaanmu, tapi aku yang tidak akan lagi menjadikanmu bagian dari perasaanku. 

Kamu yang pernah aku cintai, akan aku relakan bersama dengan yang lain, orang yang telah kamu pilih sebelum aku. Aku bukan siapa-siapa, seharusnya. Terlalu cepat aku mencintaimu, bahkan sebelum aku mengenalmu.

Maaf, mengecewakanmu.


Mengagumi laki-laki yang selalu bersamaku adalah kebiasaanku. Membiarkannya bahagia atas tingkah laku kita sehari-harinya. Iya, laki-laki itu pacarku. Dan setiap pasangan pasti menginginkan kisahnya menjadi masa depan. Tapi berbeda, yang tanpa aku sadari, aku masih mengingat masa laluku, masa lalu yang sebenarnya kelam tapi menyisakan ceceran kenangan yang kadang susah untuk dilupakan.
Tingkahku berbeda ketika aku mengingat sosok masa laluku, haus akan perhatiannya dan menginginkan jemarinya yang masih teringat di pikiranku. Sampai aku tau, tak akan bisa aku membohongi lelakiku tentang rasa yang seharusnya tak aku tunjukkan lagi.
Saling bercengkerama adalah hal biasa yang kita lakukan. Menceritakan sesuatu yang dianggap biasa, menjadi luar biasa ketika kita bicarakan berdua. Menanyakan keadaan walaupun setiap saat kita saling memperhatikan.
“Jadi, ada apa denganmu ?” tanyanya mengejutkan disela-sela perbincangan bodoh kita.
“Ada apa ?” jawabku tertegun dengan tatapan kagumku yang berubah menjadi tatapan terancam.
“Aku mengenalmu melebihi siapapun. Dan kamu tau tulusnya aku. Aku pasti tau sedikit saja perubahanmu”. Lirih pernyataan itu, dengan matanya yang tajam dan parasnya yang tampan, tak lagi menunjukkan ketegasannya. Hanya kekhawatiran di raut wajahnya.
Aku tertegun, melihatnya aku malu. Aku tau tak akan bisa aku berbohong, karena kebohongan tak akan bisa selamanya disembunyikan. “Maafkan aku, masa lalu yang telah aku hindari, serasa memaksa untuk tak dihindari. Aku merindukannya”.
“Apa yang kamu lakukan dibelakangku ? Apa sudah tidak ada logikamu. Cinta yang tak lagi mempertahankanmu, masih saja kamu penjarakan di pikiranmu ?”
Aku ingat aku hanya wanita. Aku tak bisa menjawab semuanya dengan tegas ketika aku memang salah. Aku meneteskan air mata. Air mata yang harus aku keluarkan memang, untuk laki-laki yang telah aku khianati ini.
“Taukah kamu, sayang ? Orang itu tak lagi pantas ada di pikiranmu. Kalau boleh aku berkata padamu, aku juga pernah berfikir tentang masa laluku. Semua orang tau, masa laluku, wanita itu terlihat sempurna. Tak ada lelaki yang mampu menolaknya. Tapi aku lebih bisa menghargai takdir. Aku memilikimu sekarang, sosok yang aku perjuangkan, karena aku tau ketulusan rasamu ke aku melebihi masa laluku sendiri”, menegaskan dia kepadaku, mengusap wajahnya yang tampan dengan tangannya, menandakan kekecewaannya kepadaku.
“Maafkan aku, maaf aku hanya bisa mengecewakanmu” terisak aku dalam tangisku.
“Aku tau aku tak sempurna. Tapi paling tidak kita bisa saling melengkapi. Kita adalah satu, tidak mungkin memperjuangkan hanya setengah” emosinya mereda dengan mata teduhnya mencoba menenangkanku.
“Kita jalani sama-sama, ketulusan yang bisa mengalahkan semuanya”. “Aku janji, kamu akan bahagia bersamaku”. “Aku tak perlu ada orang lain di hidup kita, hanya aku dan kamu”.
Kalimatnya membuat aku sadar, tersenyum lebar. Ada sosok yang selama ini menyayangiku dengan tulus, tak ingin menyakitiku. Bagaimana bisa aku tak melihat itu ? Ah, mungkin karena aku tak pernah ada niat untuk menghilangkan masa laluku.
Aku memang harus mencoba. Mencoba mencintai orang yang mencintaiku, sebelum aku kehilangannya.

Rabu, 14 Agustus 2013

Setiap rasa sayang tak akan bisa dipaksakan.


Rasa yang datang ketika kamu menawarkan segala keseriusan. Kita bertemu lewat pesan singkat, menyapaku dengan kata-katamu yang tak pernah aku tau maksutmu. Kita tak pernah merencanakan sebuah pertemuan, tapi aku tau, kita harus bertemu. Bertemu untuk saling mengagumi satu sama lain.
Begitu bergejolak hati ini, kamu berkata untuk menemuiku. Aku menerima ajakanmu, menunggumu di teras, untuk saling berkenalan lebih dekat. Aku telah bertemu denganmu, melihatmu aku bisa tau rasanya tersenyum. Ceritamu yang begitu runtut membuatku semakin ingin mengenalmu. Sebelumnya tak pernah aku melihat sosok sepertimu, pencerita dan pembuat perasaan terasa nyaman. Apakah kamu tau ? aku mulai sadar, aku memiliki perasaan padamu, tampan. Entah denganmu, dari sikapmu aku menganggap semuanya ini normal, kita terlampau dekat, kita bertemu dan saling memiliki rasa. Aku menikmati setiap waktu kita.
Setiap pertemuan pasti berujung perpisahan. Hari itu, tak ingin sekalipun aku mengakhiri waktuku bersamamu, tapi aku sadar, kita bukan apa-apa dan aku bukan siapa-siapamu. Senyummu dan perkataanmu yang kau lontarkan padaku “Kamu hati-hati ya, jaga diri baik-baik. Kalau butuh apa-apa, hubungi saja aku, kakakmu”.
“Kakakmu” ? aku tak pernah ingin mendengar kata itu. Aku memang bukan bagian dari kamu sekarang, tapi apakah kamu tau ? lebih baik aku kau anggap temanmu yang suatu saat nanti akan menjadi teman hidupmu, daripada harus kau anggap sebagai adikmu.
Ada apa, kenapa dan siapa yang harus disalahkan sekarang ? Apakah aku terlalu kecil untuk menjadi kekasihmu ? Tidakkah kamu tau aku mengaharapkan lebih dari sekedar perasaan adik-kakak ? Semoga pikiranku ini semua salah. Tapi mungkin saja benar, hari berikutnya, kenapa kamu terus memanggilku dengan panggilan “Dik”.
Padahal sebelum aku mengenalmu, aku bertanya pada banyak orang tentangmu. Mereka bilang jangan aku teruskan perkenalan ini, tapi aku yakin kamu adalah spesial. Memang benar spesial mungkin dan ke-spesial-anmu itu tidak untukku yang biasa saja.
Setiap hari perhatianmu mengalir untukku, tapi it uterus membuatku merasa sesak. Kamu bercerita tentang hidupmu, keluargamu, sahabatmu bahkan keseharianmu. Tapi aku tau, aku hanya adikmu, bukan lebih. Sampai aku menemukan ceritamu, cerita tentang orang lain yang mampu merebut hatimu. Teganya kamu menceritakan itu padaku ? Apakah kamu tak tau perasaanku sebenarnya padamu ?. Lalu, perhatianku, pengorbananku dan semuanya tak sedikitpun yang kamu mengerti. Aku lupa, kamu laki-laki, yang tak peka atas perasaan wanita.
Aku terus mendapatkan kabar darimu, kabar tentangmu, tapi tentangmu bersama yang lain. Aku ingin berteriak dan menangis. Tapi untuk apa ? tak akan kau dengarkan. Aku hanya teman dekatmu yang kau anggap sebagai adikmu.
Aku tau setiap rasa sayang tak akan bisa dipaksakan. Aku merelakanmu, aku bahagia atas bahagiamu, tapi itu terlalu munafik. Semoga kamu bahagia “kakak”. Biarkan perasaanku terpendam, terpendam kedinginan sendirian tanpa pelukan dan tanpa raihan tanganmu.