Jumat, 22 Agustus 2014

Ijinkan Aku Jahat, Tuhan.

Tengkukku bergetar, aroma ketakutan membumbung tinggi. Tubuh mungilku menggigil, diterpa air maha dahsyat. Mata terpejam, air bagai menimpuk wajah, mulut berkomat-kamit seraya mengucap doa tanda peristiwa. Selang kemudian, sekujur tubuhku telah berbalut kain putih, mereka bilang ini kain suci. Aku tersungkur di atas alas tak bertuan, bersiap bertemu Tuhan.

Masih sepertiga malam, malam paling panjang dibukakan pintu permohonan.

Sujudku kali ini, mereka bilang sujud untuk Tahajud. Di akhir ibadahku, mereka bilang aku bisa meminta apapun pada Tuhan, mereka bilang ini adalah waktu tanpa jeda dengan Tuhan. Aku akan menceritakan semuanya pada Tuhan, semoga Ia tak pernah bosan.

Aku lelah, Tuhan.
Berpura-pura baik-baik saja dan membohongi akalku sendiri. Bukankah seharusnya aku tak boleh bohong Tuhan?

Aku lelah, Tuhan.
Memendam perasaan iri dan tetap bertingkah laku seperti orang sabar. Bukankah orang lain bilang kita harus menjadi diri sendiri?

Aku lelah, Tuhan.
Menjadi orang baik-baik, sampai mereka tak tau akal picikku sebenarnya. Bukankah setiap orang berhak untuk mengungkapkan pendapat?

Aku lelah, Tuhan.
Tetap tersenyum pada orang-orang yang telah mencemoohku. Bukankah setiap orang berhak untuk memperjuangkan harga dirinya, Tuhan?

Aku lelah, Tuhan.
Berfikir semuanya akan baik-baik saja pada sesuatu yang jelas-jelas tak mungkin. Bukankah orang bilang seharusnya aku melepaskan sesuatu yang bukan milik kita, Tuhan?

Aku lelah, Tuhan.
Ikhlas pada sesuatu yang sebenarnya ingin aku miliki. Bukankah orang bilang, kita harus mengejar apa yang kita inginkan?

Kalau saja aku adalah malaikatMu, mungkin aku tak akan berkata lelah. Tapi Tuhan telah menciptakanku sebagai manusia, bahkan jauh dari sempurna.

Bolehkah aku istirahat sebentar, Tuhan?

Ijinkan aku jujur tentang pendapat jelekku. Ijinkan aku iri pada semua orang. Ijinkan aku menjadi orang jahat. Ijinkan aku marah ketika aku dicemooh. Ijinkan aku sombong. Ijinkan aku memiliki semua yang aku inginkan.

Tapi, jangan hukum aku Tuhan, aku takut padaMu. Aku hanya ingin merasakan bagian-bagian manusiawi yang selama ini aku hilangkan demi mengharap Surga-Mu.

Tuhan, jika aku sekali saja berbuat jahat, bilangkan juga pada mereka bahwa aku ini adalah orang baik, aku hanya sedang ingin merasakan menjadi mereka yang bisa seenaknya tanpa memikirkan dosa.

Sekali lagi Tuhan, aku lelah. Lelah terus mengeluh, terus meminta dan terus mengkhianatimu. Aku malu padamu Tuhan. Maafkan aku.

“Tuhan yang maha baik, tolong jaga hatiku baik-baik”.

Minggu, 10 Agustus 2014

Dihilangkan atau Menghilangkan (?)

Kita memang tak pernah menamai hubungan kita sebelumnya. Entah mungkin kita memang merasa tak perlu atau memang tak penting. Yang jelas, laki-laki dan perempuan yang menurutku sudah sangat akrab, tak mungkin tak saling memiliki rasa. Kita terlalu dekat, sedekat mereka yang telah saling mengikat.

Sampai akhirnya, aku telah sampai pada pilihanku. Pilihan atas perjuangan yang melelahkan. Aku memilih menyerah. Bukan karena aku ingin disebut sebagai pecundang, tapi lebih karena tugasku sudah selesai, tugasku telah digantikan, olehnya.

Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyerang, menghunus seperti pedang. Mungkin ini terkesan berlebihan. Aku tak berlebihan, karena mungkin kamu perlu menjadi aku untuk tau rasanya.

Kalau saja aku lebih pandai membaca masa depan, mungkin aka tak akan memperjuangkanmu sehebat ini sebelumnya. Kalau saja aku tak mengartikan segala perhatianmu sebagai rasa sayang, mungkin aku tak akan memberimu kesempatan untuk meletakkan posisi yang paling penting di hatiku. Aku terlalu bodoh, aku terlalu cepat jatuh cinta.

Sebelumnya, aku menikmati setiap tertawa genitmu di ujung telfonku. Aku menggilai setiap pesan singkatmu yang tak pernah absen muncul di layar handphoneku. Aku tersipu malu dan merasa menjadi paling bahagia saat ada banyak kecupan lucu walaupun hanya berbentuk tulisan.

Aku menyukaimu.

Begitu banyak hal yang aku lakukan, begitu tak tanggung-tanggung aku berusaha untukmu. Seharusnya aku tak mempedulikanmu ketika kamu mulai datang di hidupku. Seandainya saja aku tak pernah mengenalmu, aku tak akan tau rasanya menangis tersedu.

Lalu sekarang, bagaimana perasaanmu? Legakah? Aku sudah tak bisa menannyakannya lagi padamu, karena aku telah kamu hilangkan.

Sayangnya, kita tak bisa saling menyapa, seperti dulu sebelum kita ada rasa, karena aku telah kamu hilangkan.

Awalnya aku tak pernah berfikir untuk meninggalkanmu, tapi nyatanya, aku yang justru kamu hilangkan, dari hidupmu.

Jadi, siapa yang dihilangkan atau menghilangkan, yang jelas bagianmu di hidupku atau bagianku di hidupmu, telah selesai.