Rabu, 04 Maret 2015

Mendekap Sebelah Sayap.


Aku tak pernah menatap seorang pria sedekat ini.

Nafas hangat menganga menerpa mata, kau hanya berjarak satu jengkal dari bola mata. Bibir yang liar pada ujung keningmu berkali-kali menjelma sebagai suatu kebahagiaan mutlak. Adalah kamu, saat hawa dingin tergantikan oleh hangat pelukmu. Sering kali, diam terdengar lebih lantang, bersuara lewat debar jantung yang menggelegar dari dada hingga rongga telinga.

Aku jatuh terjerembab. Aku biarkan diri jatuh dan semakin tenggelam. Tenggelam dalam cinta dan peluk yang kau buat.

5 menit berlari, aku semakin menyusup tersungkur pada dekapan tubuhmu. Kau memelukku dengan sangat perlahan, tak ingin kalau-kalau aku tersentak karena debaran jantungmu yang semakin kencang.

Ada kebersamaan yang meletup, membuncahkan kesenangan.

Seandainya kau tau, kau adalah yang mencintaiku dengan istimewa, dengan caramu yang berbeda. Kadang aku membenci beberapa sifatmu dan tingkahmu yang menjengkelkan dan membuatku serapah tak karuan. Tapi kadang, aku merindui segala yang kubenci ketika kau tak ada. Karena itulah aku paham, bahwa kurangmu dan lebihmu adalah satu paket yang aku butuhkan dan mulai aku gilai. Kau yang berbeda itu adalah rumah tempatku singgah, yang menjamuku dengan hidangan yang serba mewah dan memaksaku untuk betah.

Karenamu aku menjelma sebagai seorang yang mengenal diri, menjadi diri sendiri yang jauh dari kata buruk. Saat aku berada di pelukmu, dekapmu memberiku kepercayaan seolah aku ini perempuan yang kuat. Aku yang lebih hebat. Entah kenapa aku merasa memiliki segalanya yang baik-baik ketika aku dalam pelukmu. Mungkin cintamu yang membuatnya begitu.

Padamu aku menyerah. Kau yang selalu tak pernah berhenti mencari cara agar aku bahagia. Kau yang berdiri pertama kali ketika ada sedih mulai muncul di pelupuk mata. Kau yang dengan mati-matian memarahiku ketika aku salah, mengecupku dengan pelajaran yang mengajaibkan. Kau yang berhati luas, yang tak mampu aku menyusuri, namun tetap kau tuntun untuk mengarungi.

Kekasih, terima kasih untuk tetap mencintai segala burukku dan memperbaikinya menjadi kebaikan. Terima kasih telah mengubur egoisku untuk sebuah masa depan. Terima kasih untuk keluhan-keluhanku yang  tetap kau dengarkan. Terima kasih tetap menggenggam erat saat aku tak dihiraukan. Terima kasih atas segala sabar untuk menghadapiku yang kau lipat gandakan. Terima kasih kamu yang selalu memperjuangkan.

Tetap genggam tanganku ketika kamu berjalan, ketika kamu pergi, ketika kamu berlari, pun ketika kamu tersandung dan jatuh. Jadikan aku sebelah sayapmu yang menemanimu untuk tetap terbang dan memberimu hidup yang seimbang.

10 menit yang terpatri, peluk bertambah lekat. Jangan lepaskan. Biarkan saja aku menjadi egois sekali ini, menginginkanmu dengan serakah, ingin memilikimu dan bersamamu kini dan nanti. Dan saat ini aku ingin tetap berada dalam keadaan nyamanku, aku damai memilikimu. Seperti terlahir kembali dengan bungkusan kebahagiaan di tangan.
Karena denganmu, cintaku jatuh tanpa membekaskan luka.

--- Ditulis lima hari sebelum pria yang aku sebut meninggalkan aku dengan kebut dan membuat hati semakin ribut.

Kepada kamu pria yang (pernah) aku berikan hati yang paling dalam, ketika hatimu sedang sibuk mencari alasan untuk beranjak, ketika itu pula aku masih mencintaimu lebih besar dari yang kau dengar. Hai, apa kabar? Jangan tanya balik, aku sudah sangat baik-baik saja. ---