Apa kabar kamu,
sering kali aku bertanya seperti itu padamu, bukan karena aku terabaikan tapi
karena aku merindukanmu. Apa kabar jerawat di pipimu ketika terakhir kali
bertemu denganku? Masih ada kah? Aku selalu suka dengan jerawatmu, kamu bilang
itu akibat dari kamu terlalu banyak merindukanku. Setelah kita memutuskan untuk
saling ingin memiliki, walaupun tanpa ikatan yang pasti, tapi itu tak membuatku
berhenti menyayangimu. Aku selalu memperhatikan setiap senyummu yang selalu mampu
membuatku jatuh hati. Aku selalu merasa bahagia ketika kamu lupa akan umurmu
dan bermanja-manja kepadaku.
Hei kamu lelaki
yang mampu membuatku luruh.
Ingatkah kamu
bagaimana pertama dulu kita bertemu? Tentang tatapan pertamamu kepadaku, kamu
selalu salah tingkah ketika aku berbalik menatapmu. Tanganmu yang mencoba
melebur dengan punggung tanganku pertama waktu itu, kamu terasa sangat
malu-malu. Candaan pertamamu waktu itu yang masih enggak aku pedulikan. Obrolan kita yang terlalu banyak diam, serta
semua hal-hal yang membuat semuanya dimulai. Aku tak selalu jelas mengingat
bagaimana kita bertemu, tapi yang aku jelas tau, kita sama-sama menginginkan.
Sebenarnya, kamu
adalah pria yang biasa saja. Penampilanmu yang sering apa adanya, mungkin tak
akan membuat pandangan perempuan beralih kepadamu. Kamu lebih sering terlihat
hanya memakai kaos dan setelan jeans panjang dengan rambut yang dibiarkan
acak-acakan. Sepertinya kamu tak peduli dengan adanya penemuan baru di bidang
fashion seperti pomade. Ya, mungkin batas ketidak-tertarikan perempuan itu
hanya sampai ketika kamu membuka obrolan, dan aku yakin, perempuan mana yang
tak berhasil kamu buat nyaman dengan sifatmu yang friendly.
Percayalah, kadang fisik harus di-nomor-duakan oleh perempuan ketika urutan puncak telah dihuni rasa nyaman.
Caramu untuk
mendekatiku malah tak terlihat sama sekali olehku. Atau justru kamu yang
terlalu pandai menyembunyikan kedok-mu? Pesan singkatmu selalu membuatku
menanti. Sesekali kamu menawarkan telingamu untuk mendengar cerita suka dan
dukaku, bahkan cerita tak pentingku. Kamu terlalu berbeda dengan kebanyakan
pria yang lain yang membuatku merasa dikejar. Kamu datang seperti teman yang
selalu dapat diandalkan.
Aku sangat
bahagia dengan ungkapan-ungkapan sederhana kita setiap hari seperti: “Lagi
apa?”, “Sudah makan belum?”. Aku juga sangat bahagia ketika kamu berusaha
mengirimiku suara bangun tidurmu lewat voice
note yang hanya sekedar mengucapkan “Selamat pagi”, walaupun suaramu
terdengar sangat cempreng bagiku.
Kamu selalu membuatku merasa manis dan istimewa. Tapi sesekali kamu juga pernah
membuatku marah hanya karena ejekan dan candaanmu. Tenang saja, kamu tau kan?
Aku memang perempuan yang gampang sekali ngambek.
Dan bertambahnya
hari aku semakin tenggelam dalam rasaku padamu. Kamu yang selalu memberiku
kejutan-kejutan sederhana yang tak pernah terpikirkan olehku. Padahal setauku,
kamu bukan orang yang romantis. Kamu tau apa minuman kesukaanku dan kaget
ketika aku bosan memesan minuman yang sama, kamu tau jam berapa aku tidur, kamu
tau kerudung mana yang menjadi favoritku, bahkan kamu bisa membedakan aku
sedang berdandan atau tidak saat bertemu denganmu.
Sekian lama kita
bersama, sampai hari ini kamu tak pernah lupa mengingatkanku untuk menjaga
kondisi fisikku yang ringkih, katamu aku ini pelupa soal menjaga kesehatan.
Padahal justru kamu yang sering lupa, bekerja tak kenal waktu.
Sekali waktu
dalam hidupmu, pernah kamu begitu lemah, meminta sandaran bahuku untuk menjadi
rumah. Yang kamu inginkan adalah mendengar suaraku menenangkanmu dan aku yang
mengusap lembut ujung kepalamu. Mungkin kamu hanya butuh penguatan. Setauku,
pria setegar dirimu, hanya akan merasa nyaman meluapkan ceritanya jika bersama
perempuan yang sudah dianggap pasangan jiwa. Untuk keadaan satu itu, aku
berterima kasih telah mempercayakan emosimu kepadaku.
Oh iya. Terlepas
dari semuanya, maafkan aku jika selalu merepotkanmu. Maafkan aku kalau
membuatmu lelah menghadapiku. Aku ingin kita menghadapi masa depan dengan tetap
saling menggenggam. Karena bersamamu, aku merasa semesta telah menciut cukup menjadi
kamu. Aku merasa genap. Seharusnya aku juga patut berterima kasih pada Tuhan
dan semesta yang telah kompak mempersatukan.
Aku baru saja
menyebut Tuhan bukan? Aku sering berbincang denganNya. Membicarakan sesuatu hal
yang penting. Membicarakan kamu. Dalam sujudku, saat dahi membentur sajadah
yang beraroma dingin, aku meminta agar aku kuat. Kuat menjagamu.
Kepada kamu
lelaki yang mampu membuatku luruh. Sekali lagi, apa kabar kamu?
Aku beri tau,
jatuh cinta tak pernah sehebat ini.