Ada
warna di setiap tulisan penaku, yang menghiasi ruang hitam di sudut pikiranku.
Selalu menggembirakan. Memberikan kebahagiaan, sekalipun kadang teriris oleh
kekecewaan sebuah jarak beratus-ratus kilometer. Mungkin warna itu telah
berhasil menggambarkan wajahmu, yang selalu menjadi bayangan terindah di dalam
hati.
Mencintaimu
seperti candu, tak pernah ingin menemukan penyembuhnya. Tiada obat atau tabib
untuk memusnahkannya. Sampai saat ini, sampai aku seringkali menuliskan
puisi-puisi kenangan kita, yang sesekali justru menghidupkan luka.
Aku
pernah mencintaimu dengan tulus, memperjuangkan mati-matian untuk sebuah
perhatianmu. Aku kekasihmu, tapi tak seorangpun tau, dan bertubi-tubi mendapat
pengabaianmu. Tanpa sebuah paksaan, aku biarkan saja semuanya mengalir, sampai
hilir, sampai kau sadar aku yang terakhir. Sadarkah kau, diantara sabarku?
Aku
tak mungkin berkata lantang pada dunia, bahwa kamulah satu-satunya yang aku
pinta, bahwa ingin aku didampingimu, bahwa aku tak akan bisa memberi warna pada
tulisanku jika tanpamu. Karena aku wanita pemalu, sayang.
Akulah
yang bersedia menjadi pelengkapmu, yang akan kau temukan saat bangunmu dan
tidurmu nanti.
Aku
lihat kamu sempurna. Tapi kenapa buta? kenapa tuli? kenapa bisu?
Aku menyerah, aku pasrah dan
aku berhenti menengadah.
Bukan, ini bukan salahmu. Tuhan
memang telah menegurku sebelumnya. Tapi aku menutup mata, menutup telinga dan
malah menggunakan mulutku saja.
Aku yang cacat.
Aku
pergi, sayang.
Tidak
untuk kalah, tapi lebih karena memperjuangkan yang tidak memperjuangkanku, itu
bukan takdir yang diberikan Tuhan untukku.
Aku
diciptakan kuat, diciptakan untuk mendampingi orang yang kuat pula batinnya,
hatinya dan imannya. Tapi itu bukan kamu lagi, sayang.
Kamu tak akan bisa lagi
membuatku, percaya kau akan berbalik mencintaiku.
Kamu tak akan bisa lagi membuatku,
berpikir akan selalu mendampingimu saat senang dan sedihmu.
Kamu tak akan bisa lagi
membuatku, meyakini bahwa kamu adalah masa depanku.
Kamu tak akan bisa lagi,
melihat rasaku, setelah kau buka mata hatimu.
Selamat
menempuh hidup gelapmu, dengan setumpuk penyesalan.
Jangan
sebut aku mantanmu, karena kamu tak pernah mengabdi padaku.
Terlepas dari semua itu, terima
kasih. Aku dan kamu adalah manusia baik, hanya saja, Tuhan mungkin akan
menjodohkanmu dengan manusia yang serupa dengan cerminanmu.
Tulisan
ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth
novel
Bernard Batubara dan @gramedia