Rabu, 02 April 2014

Surat Untuk Mantan

Ada warna di setiap tulisan penaku, yang menghiasi ruang hitam di sudut pikiranku. Selalu menggembirakan. Memberikan kebahagiaan, sekalipun kadang teriris oleh kekecewaan sebuah jarak beratus-ratus kilometer. Mungkin warna itu telah berhasil menggambarkan wajahmu, yang selalu menjadi bayangan terindah di dalam hati.

Mencintaimu seperti candu, tak pernah ingin menemukan penyembuhnya. Tiada obat atau tabib untuk memusnahkannya. Sampai saat ini, sampai aku seringkali menuliskan puisi-puisi kenangan kita, yang sesekali justru menghidupkan luka.

Aku pernah mencintaimu dengan tulus, memperjuangkan mati-matian untuk sebuah perhatianmu. Aku kekasihmu, tapi tak seorangpun tau, dan bertubi-tubi mendapat pengabaianmu. Tanpa sebuah paksaan, aku biarkan saja semuanya mengalir, sampai hilir, sampai kau sadar aku yang terakhir. Sadarkah kau, diantara sabarku?

Aku tak mungkin berkata lantang pada dunia, bahwa kamulah satu-satunya yang aku pinta, bahwa ingin aku didampingimu, bahwa aku tak akan bisa memberi warna pada tulisanku jika tanpamu. Karena aku wanita pemalu, sayang.

Akulah yang bersedia menjadi pelengkapmu, yang akan kau temukan saat bangunmu dan tidurmu nanti.

Aku lihat kamu sempurna. Tapi kenapa buta? kenapa tuli? kenapa bisu?

Aku menyerah, aku pasrah dan aku berhenti menengadah.
Bukan, ini bukan salahmu. Tuhan memang telah menegurku sebelumnya. Tapi aku menutup mata, menutup telinga dan malah menggunakan mulutku saja.
Aku yang cacat.

Aku pergi, sayang.

Tidak untuk kalah, tapi lebih karena memperjuangkan yang tidak memperjuangkanku, itu bukan takdir yang diberikan Tuhan untukku.

Aku diciptakan kuat, diciptakan untuk mendampingi orang yang kuat pula batinnya, hatinya dan imannya. Tapi itu bukan kamu lagi, sayang.

Kamu tak akan bisa lagi membuatku, percaya kau akan berbalik mencintaiku.
Kamu tak akan bisa lagi membuatku, berpikir akan selalu mendampingimu saat senang dan sedihmu.
Kamu tak akan bisa lagi membuatku, meyakini bahwa kamu adalah masa depanku.
Kamu tak akan bisa lagi, melihat rasaku, setelah kau buka mata hatimu.

Selamat menempuh hidup gelapmu, dengan setumpuk penyesalan.

Jangan sebut aku mantanmu, karena kamu tak pernah mengabdi padaku.

Terlepas dari semua itu, terima kasih. Aku dan kamu adalah manusia baik, hanya saja, Tuhan mungkin akan menjodohkanmu dengan manusia yang serupa dengan cerminanmu.


Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth

novel Bernard Batubara dan @gramedia