Aku berdiam memperhatikan batasan
pada ruangan tempatku berbaring, menampung air yang jatuh dari sudut mataku.
Dalam pikiranku, tak banyak yang aku pikirkan, tapi ketika aku mengingat satu
saja kenangan, bisa saja memenuhi otakku, berat dan sesak. Mungkin ini yang
orang sering bilang dengan sakit hati, merasakannya sendiri, memendamnya
sendiri dan tak akan ada yang bisa mengerti.
Aku masih saja menggerogoti
lukaku sendiri, tak berusaha menyembuhkan, malah aku pelihara dengan baik. Ah,
bodoh sekali, kehilangan seseorang begitu saja bisa seperti mengakhiri
semuanya. Aku tak yakin akan kapok jatuh cinta, justru malah memulainya lagi
mungkin. Dengan ketidakpastian yang sama, sampai Tuhan berkata “ini pilihanKu
untukmu”.
Aku bukan menyesali setiap
ke-jatuh cinta-anku pada seseorang, tapi yang tak pernah bisa habis pikir,
kenapa aku berani melukai perasaanku sendiri dan kemudian menangis hanya karena
kesalahanku sendiri? Lucu.
“Cinta itu harus memiliki” itulah
justru yang paling bisa diterima seharusnya, bukannya “Cinta tak harus memiliki”. Apapun, kalau sudah
dijauhkan, bagaimana bisa baik-baik saja? Aku tak benar-benar memakan pikiran
itu mentah-mentah, karena yang aku tau, ketika aku tak bisa memiliki seseorang,
tapi aku tetap mencintainya. Kadang justru aku rela merelakan seseorang itu
pada orang lain, bahkan pada temanku sendiri.
Aku menata satu persatu kepingan
yang telah hancur, menempelkannya dengan hati-hati. Lalu, aku kembali
mengingat, apa benar aku sudah merelakannya untuk pergi? Sudahkah aku mengikhlaskannya
untuk temanku sendiri? Apa harus aku merebutnya dan aku mengatakan bahwa aku
harus memilikinya? Iya, aku benar-benar tak rela sepertinya. Aku yang
mengungkit-ngungkit kenangan. Aku yang menyakiti perasaanku sendiri.
Kalau memang cinta tak harus memiliki,
seharusnya tak usah memikirkan, tak usah mengejar, tak usah mencari perhatian.
Tapi kenyataan berbeda bukan? Tetap saja memikirkan bagaimana caranya memiliki,
menghubunginya walaupun hanya sekedar basa-basi, menanyakan kabarnya walaupun
berujung pengabaian, mencari matanya ketika hilang dari pandangan, mengkoreksi
semua statusnya di sosial media.
Ketika kamu bilang cinta tak
harus memiliki, itu kan hanya akal-akalanmu saja biar kelihatan tegar. Berusaha
melupakan rasa sakit yang sebenarnya tak bisa. Berusaha membunuh kesepian
padahal lukamu sedang ramai menggerogoti. Berusaha ikhlas padahal hatimu geram.
Seharusnya kamu sudah bisa menertawakan kelakuanmu sendiri, bodoh.
Cinta itu harus memiliki. Cinta
harus diperjuangkan. Cinta itu harus dikejar, sampai dapat. Jatuh cinta saja
dulu, ditinggalkannya belakangan. Miliki saja orangnya dulu, sakit hatinya
belakangan. Walaupun sakit hati, setidaknya sudah pernah memiliki. Walaupun tak
direstui, setidaknya sudah tau rasanya dihalangi. Walaupun terhalang jarak,
setidaknya sudah tau rasanya rindu.
Bisa saja dibingungkan oleh “cinta”,
tertawa saja sepuasnya kalau memang sudah merasa dipermainkan oleh satu kata
yang banyak sekali orang tak tau artinya.